Skip to main content

LAPAR



Saat menulis ini, jam di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul 15:15 dan saya sedang merasa sangat lapar. Laparnya sudah sampai ke ubun-ubun yang membuat saya pusing. Sebab terakhir saya makan tadi jam 9 pagi, dan belum makan minum lagi sekalipun.



Ada tiga alasan mengapa saya tidak segera makan saat ini.

Pertama, karena saya harus segera menyelesaikan 10 tulisan. Saya mencoba menggunakan teknik menulis tanpa berhenti yang diajarkan oleh mentor workshop menulis saya, Pak Andreas Harefa. Baterai laptop saya detik ini tinggal 14%. Itu berarti saya masih punya waktu satu jam untuk menulis sebelum laptop saya mati. Sebab ketika laptop mati dan harus dicharge, itu adalah saat yang tepat untuk makan.

Kedua, karena persediaan makanan di kamar saya hanya ada rendang yang tersisa semalam. Antara sudah agak bosan tapi malas pesan dan tetap harus makan. Rasanya malas sekali keluar dari kamar studio apartemen Springwood Residence yang nyaman ini. Terlalu asyik menulis tanpa lampu sama sekali karena kamar saya sudah terang dihujani sinar matahari.

Ketiga, karena ketika kepepet kok otak malah sepertinya lebih cepat bekerja. Rasanya ingin cepat-cepat menyelesaikan tugas supaya bisa memenuhi kebutuhan jasmani untuk makan. Meskipun tidak ada yang melarang saya untuk makan sekarang juga, tapi rasanya tanggung ya. Buktinya, tulisan ini jadi mengalir lebih cepat dibandingkan tulisan-tulisan sebelumnya.

Saya jadi teringat pengalaman di Las Vegas minggu lalu bersama suami. Saya kapok menginap di hotel yang tidak ada breakfastnya dan tidak menyediakan sarapan semalam sebelumnya. Sebab saat lapar, suami saya yang biasanya kalem dan easy-going bisa menjadi galak dan uring-uringan. Kalau sudah begitu, komunikasi menjadi terganggu. Ditanya sedikit, marah. Diberi saran, salah. Semuanya serba salah lah, sampai perutnya diisi dan kenyang kembali.

Kok rasanya mirip-mirip buruh yang sedikit-sedikit demo dengan alasan gaji kurang. Atau sopir taksi beberapa tahun lalu yang anarkis ketika turun ke jalan dengan alasan terancam oleh kehadiran taksi online. Atau penjahat yang mencuri dengan alasan kelaparan. Bottomlinenya sama: merasa kebutuhan (dasar) nya belum terpenuhi. Nah lho!

Kalau dipikir-pikir, menarik juga ya mengamati bagaimana orang menghadapi tekanan ketika kebutuhan dasarnya belum terpenuhi. Ada yang uring-uringan dan mudah tersinggung, ada yang tidak mampu berpikir berat, ada yang malah menjadi lebih produktif lagi. Saya sebenarnya tergolong yang tidak mampu berpikir berat ketika lapar, tapi karena harus mencapai target jadi hayolah lebih produktif lagi! Daripada uring-uringan ya kan, lagipula mau uring-uringan ke siapa? Hahaha…

Meskipun yaaah saya tidak bisa menjamin kualitas tulisan ini dibanding ketika saya menulis dengan perut kenyang. Tapi setidaknya tulisan ini candid dan jujur tanpa banyak edit, hehehe. Oh, ada alasan satu lagi sih: saya ingin memberi reward terhadap diri sendiri ketika berhasil menyelesaikan sesuatu, atau mencapai target. Rewardnya apa? Bisa macam-macam: buka media sosial, baca buku, tidur, atau… ya sesimpel makan rendang yang tersisa!

Apapun itu, saya senang akhirnya bisa menyelesaikan tulisan ini dalam waktu yang relatif singkat dan baterai laptop saya belum keburu habis. Itu artinya, satu dari sepuluh tulisan yang harus diserahkan sudah selesai sekarang. Sebuah prestasi bagi saya yang sering kali terlalu lama berpikir karena cenderung perfeksionis ini. Sekarang, waktunya makan! Bon apetit!

Cheers,
Nuniek Tirta Ardianto
Ditulis di Serpong, 13 September 2018
Dipublish di Jakarta, 10 Januari 2019

Comments

Popular posts from this blog

Sunday at IdeaFest: Purbaya, Agak Laen!

A full day at IdeaFest 2025 with Agak Laen, Purbaya, Ben Soebiakto and Bilal Faranov. Laughter, insight, and creativity everywhere.

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...
[gallery] Kakek tua ini mondar mandir menjajakan tisu kepada semua orang yang sedang menunggu di Halte Stasiun UI. Tongkat besi membantu langkah kakinya yang hitam keriput. Saya tidak butuh tisu, tapi saya punya selembar duaribuan. Ya bolehlah, siapa tau nanti butuh. Saya berikan lembaran itu, dia serahkan satu bungkus tisu. Kemudian dia duduk persis di samping saya. Menaikkan kaki, merogoh sesuatu dari kantongnya, kemudian… Memantik api dan menyalakan sebatang dji sam soe. Aduh kakek, jadi capek2 jualan uangnya buat dibakar ngerusak tubuh doang? Rabu, 24 Februari 2015 Universitas Indoesia Nuniek Tirta

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

What if peace had an address?

An early trip to Puncak leads to riverside calm, local kindness, and quiet joy. 

What Happens When You Dare to Ask?

From a random DM to a mentoring journey and unexpected blessings, this story shows the real meaning behind “Ask, and it will be given to you.”

What If the Best Things in Life Aren’t Things at All?

From unboxing a new iPhone 17 pro to savoring wagyu and deep talks with friends, I realized real happiness comes from experiences, not things.

Day Out & Deep Convo

A day of meaningful connections, from lunch with a friend to deep talks on love, instinct, and wisdom that reveal what true happiness really means.

Why Love Never Fails?

A reflection on excellence, love, and transformation. How the year’s trials became lessons in divine refinement.

When a School Feels Like a Nation

A school cultural festival that celebrates diversity, tradition, and the joy of learning together.