Skip to main content

Lectio Divina


Sejak diperkenalkan dengan konsep lectio divina pada tahun 2014 oleh dosen mata kuliah Spiritual Formation, saya selalu berusaha mempraktekkan ini setidaknya 15 menit setiap hari. Salah satu target saya untuk tahun 2019 ini adalah memperbanyak waktu lectio divina: 30 menit pagi hari, 30 menit malam hari. 



Apa itu Lectio Divina dan bagaimana cara mempraktekkannya?

Lectio Divina adalah sebuah kalimat bahasa Latin untuk "pembacaan Ilahi" dan mewakili sebuah teknik monastik awal dari doa yang berlanjut dalam praktik di dalam kehidupan dan perutusan. Walaupun tidak terlalu tersebar luas dan dimaksudkan untuk mencapai kemanunggalan dengan Tuhan selain untuk memberikan pengertian spiritual dan kedamaian dari pengalaman ini. Ini merupakan sebuah cara untuk berdoa dengan Kitab Suci yang memanggil orang untuk mempelajari, menyelami, mendengarkan, dan akhirnya berdoa dari Sabda Tuhan.
Istilah Lectio Divina berasal dari Origenes. Menurut asal usulnya Lectio Divina adalah pembacaan Kitab Suci oleh orang-orang Kristianiuntuk memupuk iman, harapan dan kasih. Lectio Divina sudah setua Gereja yang hidup dari Sabda Allah dan tergantung daripadanya seperti air dari sumber (Dei Verbum 7,10,21). ~ Source: Wikipedia 

Sumber gambar: CatholicLink

Cara mempraktekkan lectio divina adalah dengan menerapkan prinsip 4R:
  1. Reading (Lectio)
    Baca dengan seksama kata per kata pada kalimat yang tertulis. Dapatkan makna yang terkandung pada kalimat tersebut, kemudian baca tulisan itu sekali lagi.
  2. Reflecting (Meditatio)
    Ambil jeda untuk mendalami makna dari kata, frasa, atau kalimat yang tertulis di sana. Dan ini yang terpenting: kaitkan maknanya dengan kehidupan kita.
  3. Responding (Oratio)
    Setelah mendapatkan makna yang terkait dengan kehidupan kita, ini juga tak kalah penting: bagaimana kita merespon makna tersebut? Apa sikap/pemikiran yang perlu kita ubah/perbaiki?
  4. Remaining (Contemplatio)
    Ambil waktu sejenak untuk berdiam diri merenungkan makna dan respon yang hendak kita perbuat, dan rasakan kehadiran Tuhan yang selalu menjaga kita.


Sumber gambar: Ocarm

Dengan lectio divina atau "divine reading", kita dilibatkan secara holistik: hati (dengan membaca), pikiran (dengan merefleksi), jiwa (dengan merespon), dan tubuh (dengan berserah). Sehingga kita bisa mendapatkan manfaat secara utuh.


Tidak hanya untuk membaca alkitab, lectio divina ini sebenarnya juga bisa diterapkan ketika membaca buku-buku lainnya. Teknik tersebut umum disebut dengan slow reading deep reading, silakan baca di sini: Deep Reading.

Cheers,
Jakarta, 02 Januari 2019

Comments

Popular posts from this blog

Sunday at IdeaFest: Purbaya, Agak Laen!

A full day at IdeaFest 2025 with Agak Laen, Purbaya, Ben Soebiakto and Bilal Faranov. Laughter, insight, and creativity everywhere.
[gallery] Kakek tua ini mondar mandir menjajakan tisu kepada semua orang yang sedang menunggu di Halte Stasiun UI. Tongkat besi membantu langkah kakinya yang hitam keriput. Saya tidak butuh tisu, tapi saya punya selembar duaribuan. Ya bolehlah, siapa tau nanti butuh. Saya berikan lembaran itu, dia serahkan satu bungkus tisu. Kemudian dia duduk persis di samping saya. Menaikkan kaki, merogoh sesuatu dari kantongnya, kemudian… Memantik api dan menyalakan sebatang dji sam soe. Aduh kakek, jadi capek2 jualan uangnya buat dibakar ngerusak tubuh doang? Rabu, 24 Februari 2015 Universitas Indoesia Nuniek Tirta

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...

What Happens When You Dare to Ask?

From a random DM to a mentoring journey and unexpected blessings, this story shows the real meaning behind “Ask, and it will be given to you.”

Why Love Never Fails?

A reflection on excellence, love, and transformation. How the year’s trials became lessons in divine refinement.

What If the Best Things in Life Aren’t Things at All?

From unboxing a new iPhone 17 pro to savoring wagyu and deep talks with friends, I realized real happiness comes from experiences, not things.

Can Growth Ever Be Truly Mutual?

Reflections from Simbiosis Bisnis 2025; on true collaboration, comfort zones, and finding mutual growth in business and life.

When a School Feels Like a Nation

A school cultural festival that celebrates diversity, tradition, and the joy of learning together.