“Daddy, aku IRI karena Vica dibeliin casing baru.”
Demikian ujar si kakak dengan lantang
kepada daddynya. Sebenarnya, dia iri bukan karena ingin punya casing baru juga.
Tapi karena adiknya mendapatkan barang yang diinginkan, sementara barang yang
dia inginkan belum juga dibelikan. Terlepas dari kontennya, saya bisa
mengapresiasi kemampuan si kakak dalam mengungkapkan perasaannya: merasa iri.
Saat seusianya, saya belum mampu
mengungkapkan perasaan saya dengan baik. Saya ingat waktu kecil, kakak saya pulang dengan
bungkus kosong Chiki Balls di tangan sambil bilang: “Kakak abis ikut papa
nonton wayang.”. Saya cuma bisa cemberut, dan papa mama menyimpulkan saya iri
karena tidak diajak nonton wayang. Padahal, saya iri karena tidak dapat Chiki
Balls. 😂
Ketika kami beribadah sorenya,
saya berbisik padanya:
“I give you tips and trick. Find the link of the things you want, preferably from local marketplace, and share the link to daddy via Instagram direct message. Put nice words. That’s how your sister gets what she wants.”
She nodded and smiled =)
Terkadang, rasa iri diperlukan (tentunya
dengan dosis yang tepat), ketika merasakan ketidakadilan. Namun hati-hati,
jangan sampai malah terkonsumsi oleh rasa iri itu sendiri. Dan yang terpenting
adalah: bagaimana caranya mengungkapkan perasaan iri dengan positif untuk hasil
yang efektif.
“Mommy, aku iri sama Vica karena bulu matanya panjang dan lentik”
Begitu dia katakan pada saya saat
kami makan pizza sepulang beribadah. Hmmm… kali ini, rasa irinya kurang tepat
dan tidak diperlukan. Karena rasa iri tersebut bukan berdasarkan ketidakadilan,
dan tidak akan mengubah keadaan.
“Instead of saying that, I think it would be better if you say it in positive way. Like… ‘I admire your eyelashes because it’s long and curly’. That way you won’t feel negative about your feeling, and also make other people happy with your praise.”
Rasa iri tentu tidak hanya
terjadi pada dunia anak, tapi juga pada orang dewasa. Penting sekali memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengelola rasa iri, agar tidak menggerogoti rasa syukur dan bahagia. Terlebih, pada gemerlapnya media sosial yang (terlihat) serba
sempurna. Tentang hal itu sudah pernah saya tulis di sini: Rasa Iri dan
Bahagia
“Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.” (Yakobus 3:16)
Cheers,
Nuniek Tirta
Jakarta, 13 Januari 2019
0 Comments