Skip to main content

My Gardening Journey




Masih ingat rasanya beberapa tahun lalu waktu saya cerita ke 3 orang teman, bahwa saya melihara kaktus aja mati. Kami semua ngakak terbahak-bahak. Kebetulan waktu itu kami berkumpul di Mandira’s Garden, sebuah kebun sekaligus cafe instagenic milik salah seorang dari kami, Lisa. 




Belakangan saya baru tau, bahwa yang saya kira kaktus itu ternyata adalah sukulen! Kaktus dan sukulen sama-sama punya sifat menyimpan air, karena habitatnya adalah di gurun pasir. Makanya, mereka ngga suka terlalu sering disiram. Sialnya, sebagai plantparent newbie ya saya kira SEMUA tanaman harus disiram setiap hari, LOL. 




Awalnya saya ngga hobi melihara tanaman hias. Selalu meliharanya tanaman yang bisa dikonsumsi. Di rumah pertama saya yang dulu, ada pohon mangga gedeee peninggalan penghuni sebelumnya. Di balkon lantai atas saya tanam binahong yang merambat di pagar, dan jadi lauk sarapan saya setiap pagi barengan sama bumbu rendang :)) 




Kemudian di rumah baru, ada pohon rambutan peninggalan penghuni lama juga, buahnya manisss. Ada juga pohon belimbing wuluh yang buanyaakk buahnya. Lalu mama saya menanam pohon cabe di depan dan belakang rumah. Di halaman belakang ada pohon sirih super rimbun yang menguasai pohon kamboja :))




Februari 2020 lalu, saya minta Lisa untuk membuatkan kebun herbal di halaman depan. Isinya segala tanaman yang dapat dikonsumsi dan baik untuk kesehatan: jahe, kunyit, kencur, cabe, pegagan, mint, pandan, jeruk, Taman herbal itu sekaligus penghiburan untuk putri pertama kami karena kucing pertamanya mati dibantai anjing tetangga :(( 




Lalu pandemi datang sebulan kemudian, tepatnya 15 Maret 2020, membuat kami sekeluarga harus stay #dirumahaja . Sebulan berikutnya saya mulai menyibukkan diri mempropagasi sirih gading peninggalan pemilik rumah lama. Niat awal cuma untuk membuat tubuh terus bergerak dengan bolak balik mengganti air propagasi setiap hari, eh ternyata asik juga ya.




Dari sirih gading, nambah ke miana dan bromelia hadiah ulang tahun pernikahan dari mertua di bulan Mei. Waktu datang aduh cantik-cantik bangettt. Hanya bertahan sekitar sebulan, kemudian bhayyy semuanya karena saya ngga bisa ngurusnya. Saya taronya di tempat yang keademan dan kurang terang, padahal miana sukanya di tempat yang terang :(




Ngga patah semangat, saya malah tambah hasrat untuk menaklukkan lebih banyak tanaman. Mulailah di bulan Juni 2020 jajan tanaman random di marketplace: bambu hoki, cabe rawit ungu, krokot, pakis boston, philo lemon, rosemary, sereh, calathea, lee kwan yew, lily paris, janda bolong, brekele, sosor bebek, singonium, cemara, dll. semuanya di bawah 50ribu.




Lalu sempet sedih banget waktu hampir semua tanaman itu mati karena... aku terlalu semangat ngasih pupuk NPK! Ya maklum namanya newbie plantparent, niatnya baik kasih pupuk biar subur, tapi kan itu mostly tanaman baru dan ngasihnya juga kebanyakan, ya modarrr :))




Kemudian mulai kenal yang namanya OPS (Online Plant Seller) di instagram sejak Juli 2020. Jajannya begonia, peperomia, calathea, oxalis triangularis (kembang kupu2), alocasia amazonica, micans, mostly masih di bawah 100ribu. beberapa kali juga sempat diendorse dengan dikirim tanaman gratis. Pokoknya tiap buka instagram yg diliat tanaman melulu :))




Nah bulan Agustus 2020 baru pertama kalinya jajan tanaman ratusan ribu di lapak Taman Anggrek Ragunan, waktu kopdar pertama #GengIjo yang dikomandoin Titiw @TravelMom bulan Agustus 2020. Grup #GengIjo ini endorphin booster banget selama pandemi dengan stiker2 ajaibnya dan obrolan yang kadang absurd :))




Melihat istrinya yang hobi tanaman tapi nahan2 budget, suami bertitah: “Mommy ngapain beli tanaman pakai uang jajan sendiri, kan tanamannya buat di rumah. Pakai uang korporat lah.” (Uang korporat = uang keluarga). That means I’ve got license to buy more plants, with much more budget! LOL. Jadilah dana liburan keluarga yang nganggur selama pandemi, dialihkan buat investasi ke tanaman. 




Di hari raya kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2020, saya dan 2 orang partner lainnya menandatangani kerjasama untuk membangun PlantStory.com , sebuah platform untuk mempertemukan para pecinta tanaman dengan pemasok (segala hal yang berkaitan dengan) tanaman, agar dapat tumbuh dan berkembang bersama.




Kemudian pada 6 September 2020, waktu ultah yang ke-40, saya ngga mau dikasih kado bunga lagi, tapi minta tanaman impian. Maka satu persatu tanaman impian pun diwujudkan. Budget jajan tanaman yang tadinya limited karena pakai uang jajan pribadi, sekarang jadi lebih leluasa karena pakai dana investasi. 




Tanaman jutaan pertama saya adalah monstera variegata borsigiana menor yang saya adopsi dari tetangga sebelah yang kelebihan monvar, di awal Oktober 2020. Lalu nambah lagi dan lagi sampai yang termahal monvar 9 daun super menor dan baru itu satu2nya tanaman yang begitu datang langsung dipuji2 suami dan anak karena secakep itu :))




Sekarang ngga kerasa udah ada 500an tanaman yang tercatat di Plant Inventory, tersebar di halaman depan dan belakang. Kalo ditotal semuanya bisalah nambah family car satu lagi, hehehe. Bedanya, mobil tiap tahun harus bayar pajak, dan kalo dijual harganya turun. Tanaman ngga ada pajak, dan kalo dijual lagi harganya most probably naik karena kan bertumbuh.




Ngga semuanya berhasil tentu saja, mungkin sekitar 20% dari total yang saya beli berujung mati. Sama seperti “kegagalan” investasi ataupun “kegagalan” lainnya, saya tidak benar-benar melihatnya sebagai sebuah “kegagalan”. Melainkan, sebuah “ongkos belajar”. Bukan denial, tapi memang selalu ada pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman. Jadi ngga rugi kan :)




Comments

Popular posts from this blog

Sunday at IdeaFest: Purbaya, Agak Laen!

A full day at IdeaFest 2025 with Agak Laen, Purbaya, Ben Soebiakto and Bilal Faranov. Laughter, insight, and creativity everywhere.

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...
[gallery] Kakek tua ini mondar mandir menjajakan tisu kepada semua orang yang sedang menunggu di Halte Stasiun UI. Tongkat besi membantu langkah kakinya yang hitam keriput. Saya tidak butuh tisu, tapi saya punya selembar duaribuan. Ya bolehlah, siapa tau nanti butuh. Saya berikan lembaran itu, dia serahkan satu bungkus tisu. Kemudian dia duduk persis di samping saya. Menaikkan kaki, merogoh sesuatu dari kantongnya, kemudian… Memantik api dan menyalakan sebatang dji sam soe. Aduh kakek, jadi capek2 jualan uangnya buat dibakar ngerusak tubuh doang? Rabu, 24 Februari 2015 Universitas Indoesia Nuniek Tirta

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...

What Happens When You Dare to Ask?

From a random DM to a mentoring journey and unexpected blessings, this story shows the real meaning behind “Ask, and it will be given to you.”

Why Love Never Fails?

A reflection on excellence, love, and transformation. How the year’s trials became lessons in divine refinement.

Can Growth Ever Be Truly Mutual?

Reflections from Simbiosis Bisnis 2025; on true collaboration, comfort zones, and finding mutual growth in business and life.

When a School Feels Like a Nation

A school cultural festival that celebrates diversity, tradition, and the joy of learning together.

What Happens When You Quit Social Media for 3 Months?

Sharing my journey of mindful living, daily writing, purposeful apps, and how to come back intentionally after 3 months of social media detox.