Skip to main content

Insomnia

Dulu saya insomnia. Akut. Semakin kuat keinginan saya untuk tidur, semakin saya tidak bisa tidur. Tak peduli betapa padatnya hari saya, atau betapa santainya, otak saya menolak berhenti sejenak untuk istirahat. Jika beruntung, saya bisa jatuh tidur jam 2 pagi, itupun sangat jarang sekali. “Normalnya” di atas jam 3 pagi, atau bahkan tidak tidur sama sekali. Parahnya, saya sangat sulit untuk bisa tidur lagi kalau tiba2 terbangun, meski baru tidur 10 menit sekalipun. Keadaan ini berlangsung selama bertahun-tahun. 

Segala saran dan usaha untuk lepas dari insomnia sudah saya lakukan: jauhkan gadget, matikan lampu, mandi air hangat, minum susu, baca buku, nulis diary, hitung domba satu sampai seribu, bahkan minum pil tidur pun tak jarang saya lakukan. Sesekali saja berhasil, tapi lebih sering gagal. 

Tersiksa? Jelas. Siklus harian saya berkebalikan dengan orang kebanyakan: otak bekerja tengah malam, tidur menjelang pagi, kemudian fisik bekerja seharian. Kurang tidur itu nggak enak, banyak efek buruknya. Mulai masalah kesehatan tubuh, mental, psikis, sampai tekanan sosial. Tau kan, masyarakat kita masih gencar menilai negatif orang yang bangun siang. Nggak peduli apa masalahnya, ngapain aja malamnya, mau kerja serajin apapun seharian, pokoknya bangun siang = pemalas!  

Awalnya saya merasa penyebab utamanya karena anak2 yang pada waktu itu masih kecil2 sering bangun minta susu atau buang air. Jadi saya ronda tiap malam untuk bikin susu dan (maaf) nyebokin mereka. Baru saja berhasil tidur, si kakak bangun minta susu, susah payah tidur lagi, si adik bangun buang air. Begitu terus sampai pagi, dan keesokannya jadi zombie. 

Namun setelah anak2 sudah agak besar dan tidak pernah bangun lagi tengah malam, insomnia saya kok tidak juga hilang. Dan setelah diingat2 lagi, sejak belum menikah pun saya sudah insomnia. Jadi masalah anak sering bangun itu ternyata cuma faktor pendukung yang memperparah keadaan saja. Lalu, apa faktor utamanya? 

Sebenarnya, saya takut tidur karena selalu bermimpi. Baru memejamkan mata selama 5 menit saja, sudah muncul mimpi dalam tidur saya. Sialnya, satu per satu mimpi2 itu terekam jelas di otak bahkan setelah saya bangun. Jadi saat tidur, saya bukannya istirahat tapi justru memeras otak. Dan ketika bangun, bukannya segar tapi malah luar biasa lelah. 

Mimpi tentang apa? Banyak pastinya. Tapi di antara sekian banyak mimpi itu, yang benar2 mengganggu muaranya cuma satu: unfinished business. Suatu urusan yang belum selesai di masa lampau, dan ditekan sedemikian rupa supaya tidak muncul lagi ke permukaan. Unfinished business ini secara pasti masuk ke alam bawah sadar, berusaha keluar mendobrak tembok yang membatasinya dengan alam sadar.

Pada satu titik, saya beranikan diri untuk mengurai unfinished business itu, dengan segala resikonya. Tidak mudah sama sekali, tapi juga tidak mustahil. Bahkan ada keajaiban di sana, jauh melampaui ekspektasi saya. Saya bersyukur telah menghadapinya, meski tetap ada collateral damagenya. Setelah itu blas, mimpi2 tentang unfinished business itu hilang. Kalaupun sesekali datang, sudah tidak mengganggu lagi. 

Kini, saya lupa kapan terakhir kali bermimpi. Saya jarang kesulitan tidur lagi. Semalam bahkan jam 9 saya sudah luar biasa mengantuk dan terlelap dengan cepat. Pagi ini, setelah anak2 berangkat sebelum matahari meninggi, saya menikmati waktu untuk diri sendiri. Duduk di bangku goyang kesukaan, memandangi tanaman2 yang ada di teras balkon, dibelai angin sepoi2, diiringi kicauan burung yang berasarang di pohon mangga :)

Kamu pernah atau bahkan masih insomnia? Mungkin kamu punya cerita yang sama, atau sama sekali berbeda? Kalau mau curhat boleh lho, bisa di kolom komen atau japri ke nuniek@nuniek.com :) 

Rabu, 30 September 2015
Nuniek Tirta -yang sudah tidak insomnia- 

*semua foto diambil dari google images (kecuali foto terakhir)

Popular posts from this blog

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

Staycation, Wedding Edition

A simple staycation turns magical; with seaside noodles, wedding joy, hotel robots, and small surprises that quietly reset the soul.

What's the point of wealth?

At Permata Wealth Wisdom, lessons on economy and neurology collide; revealing that true resilience begins with a connected, healthy mind.

A Series of Plot Twists

A day full of unexpected turns becomes a reminder to embrace life’s plot twists with humor, grace, and gratitude; because detours make the best stories.

The Waiting Room of Life

There are few things in life that test our character more than waiting. Not the kind of waiting where you’re stuck in traffic with your favorite playlist on, but the heavy kind; waiting without certainty. The waiting that weighs on you because you don’t know if it will end tomorrow, next month, or next year. I’ve been thinking a lot about this today because something big just wrapped up. A long-awaited promise was finally fulfilled. And in the process, I witnessed firsthand how differently people behave when placed in the uncomfortable chair of “ the waiting room of life. ” Imagine a waiting room where everyone has been told their name will be called someday, maybe soon, maybe late. You’d see at least two kinds of people. Some people sit quietly, open a book, maybe start a new project on the side while glancing occasionally at the clock. They don’t need to narrate their suffering to the entire room.  They choose dignity over drama.  They know that patience doesn’t have to be ...

What if peace had an address?

An early trip to Puncak leads to riverside calm, local kindness, and quiet joy. 

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...

Waiting and Celebrating

This morning was wonderfully slow, the kind of slow where time doesn’t feel wasted but savored. Everyone in the house had their own lazy rhythm. No alarms, no rush, just soft hours unfolding. By two in the afternoon, we finally left for Pondok Gede to check our first house.  We had it lightly renovated: The old, tired canopy was taken down, so the two-story house could breathe and look elegant again. The walls and fence got a fresh coat of white paint, giving it that “new beginnings” look. The cracked tiles were replaced, no more tripping hazards waiting for unsuspecting guests. The windows were repainted, catching a bit of shine when the sun hits. House for sell or rent, near Mall Pondok Gede. Contact here. Now it’s neat, clean, and... how do I say this... ready to meet its "jodoh".  Although we don’t know yet if the match is a buyer or a tenant. Should we sell it? Should we rent it out? We don’t have the answer yet. And for someone like me, uncertainty is both fascinating a...

Less Fighting, More Understanding

Sunday mornings have this magical way of stretching out slowly, like they don’t want to end. This morning was one of those slow mornings, the kind where the house hums gently, everyone moves at their own pace, and there’s no rush to do anything other than exist. We had plans to go to church, but of course, life had its own little lesson in patience: the War Ticket frenzy. Thousands of people rushing online just to get a spot for worship every week; it’s kind of insane when you think about it. Praise the Lord indeed for the technology that lets us all battle for our pews without elbowing anyone physically. After church, we went for a late lunch, and that’s when I discovered MOKKA tucked away in a corner of the mall. I’ve walked past this mall so many times, but I never noticed it before. It’s funny how sometimes good things are hiding in plain sight, waiting for someone else to point them out. The restaurant was quiet compared to the line at Lekko just down the hall. And while MOKKA’s f...