Skip to main content

Bagaimana Cara Membagi Waktu?

Minggu lalu saya diwawancara untuk sebuah artikel berjudul Nuniek Tirta: angel investor, founder of Startuplokal, mother, and wife yang diterbitkan oleh ANGIN (Angel Investment Network Indonesia). Kebetulan saya baru saja bergabung menjadi angel investor ke-60 sekaligus investor wanita ke-30. 

Pertanyaan pertama, saya diminta untuk bercerita tentang siapa saya. Pertanyaan kedua, dan ini adalah salah satu pertanyaan yang paling sering saya terima: bagaimana cara saya membagi waktu sebagai seorang entrepreneur, angel investor, ibu dan istri. 

Photo by Sweet Escape

Jawaban singkatnya dapat dibaca pada artikel tersebut. Namun pada blog ini, saya ingin menguraikan jawaban yang lebih komprehensif. Jadi nanti kalau ada yang menanyakan pertanyaan sama lagi, saya bisa tinggal kasih url postingan ini saja, hehehe. 

Ini adalah prinsip saya dalam membagi waktu, berikut contoh konkritnya: 

Know your priority

Ini adalah prinsip utama dalam membagi waktu: pahami dulu apa prioritasmu. 

Contoh: di antara peran sebagai entrepreneur, angel investor, ibu dan istri, blogger dan influencer, konsultan dan advisor, plus mahasiswi S2 pula, prioritas utama saya adalah sebagai seorang istri. Mengapa? Sebab itu adalah perintah Tuhan :) Maka, saya mengutamakan tugas saya sebagai istri di atas tugas-tugas lainnya. Misalnya ketika suami meminta saya menemaninya tugas ke luar kota, maka saya akan memberi pengertian kepada anak-anak bahwa kami akan pergi selama beberapa hari. Biasanya saya juga memberitahukan mama atau mertua yang tinggal dekat rumah supaya bisa ikut memantau. Tugas rumah tangga didelegasikan kepada asisten rumah tangga, tugas administrasi didelegasikan kepada personal asisten saya. Prioritas sebagai istri ini menurut saya sangat penting, sebab ketika hubungan saya dengan suami baik, maka hubungan dengan anak-anak pun baik. Jadi bagi yang masih punya suami, meskipun sudah menjadi ibu, jangan lupa jadi istri yaa (bisa jadi bahan tulisan selanjutnya nih :)). 

Focus on your goal

Fokus pada tujuan yang ingin dicapai. 

Contoh: hampir setiap hari saya selalu mendapat undangan acara, pertemuan, meeting atau sekedar ngobrol. Jika tidak fokus pada tujuan yang ingin dicapai, bisa-bisa waktu saya habis hanya untuk memenuhi semua permintaan tersebut. Jadi, sebelum mengiyakan sebuah permintaan, saya selalu bertanya pada diri sendiri: apa yang ingin saya capai dari hal tersebut? Biasanya ketika diundang ke sebuah acara, ada 3 pertimbangan dasar yang saya pakai. Pertama: apakah topiknya menarik dan relevan untuk saya ketahui. Jika tidak, maka pertimbangan kedua adalah: apakah networknya menarik (entah itu pembicaranya atau audiensnya). Jika tidak juga, maka pertimbangan ketiga (dan ini adalah koentji): siapa yang mengundang. Jika yang mengundang adalah orang yang saya segani/hormati, maka sebisa mungkin saya usahakan datang. Tujuan saya apa? Untuk menjaga hubungan baik, tentu saja.


Delegate your weakness

Delegasikan kelemahanmu. Alias, limpahtugaskan hal yang saya kurang jago atau ngga suka.

Contoh: saat nggak ada pembantu, tugas rumah tangga yang paling saya nggak suka adalah urusan baju kotor. Maka saya delegasikan saja tugas itu kepada laundry kiloan, hehehe. Jadi saya bisa alihkan tenaga untuk masak dan beberes rumah. Sedangkan untuk urusan pekerjaan, tugas yang paling saya tidak suka adalah yang berkaitan dengan printilan administrasi, akuntantsi dan pajak. Maka saya mendelegasikan tugas itu kepada personal asisten saya. Jadi saya bisa fokus kepada hal yang saya kuasai dengan baik, seperti menyusun rencana strategis dan menulis. Dalam hal mendidik anak, saya paling seneng ngajak mereka ngobrol, tapi sering nggak sabaran kalau ngajarin mereka belajar (apalagi matematika!). Maka saya sering minta tolong partisipasi suami untuk mengajar mereka (karena suami lebih sabar, hehehe). 

Be present, be at the moment

Ini bahasa Indonesianya yang tepat apa ya? Hadir di sini, saat ini? Ya gitu deh maksudnya :))

Contoh: sebagai konsultan dan advisor, klien membayar saya per jam. Misalnya 12 jam dalam sebulan, yang dibagi dalam 3 jam tatap muka dalam seminggu. Maka selama 3 jam itu saya akan fokus hadir di sana, saat itu. Artinya, saya tidak akan mengecek handphone selama tatap muka tersebut, supaya tidak terdistraksi dan saya bisa fokus pada klien sepenuhnya. Sedangkan dalam keluarga, ada golden rules ketika sedang berada di meja makan, yaitu: no gadgets. Boleh pakai HP hanya untuk foto makanan saja, tapi tidak boleh diposting saat itu juga. Jadi kita bisa fokus ngobrol saat makan sekeluarga. Kecuali untuk saat-saat tertentu ya, misalnya ketika diundang liburan atau makan di suatu tempat, sudah pasti yang ngundang mengharapkan saya untuk bisa share di sosmed. Ya kan kita memang dibayar untuk pamer, huehehehehe. 

Listen to your body alarm

Dengarkan alarm tubuhmu.

Contoh: sejak suami melepaskan jabatan di perusahaan yang didirikannya akhir bulan lalu, bukannya jadi santai kami berdua malah semakin sibuk. Bayangin, ini sudah akhir bulan tapi belum sehari pun kami ada istirahat total di rumah. Setiap hari selalu ada 2-5 agenda: mulai dari meeting, acara, sampai urus beberapa bisnis seperti investasi startup dan properti. Bahkan untuk merawat diri pun yang tadinya bisa seminggu sekali kalau mau, sekarang cuma bisa di akhir bulan aja saking padatnya. Dalam bulan Januari ini kami sudah ke Yogya, Malang, besok ke Bandung, dan akhir pekan ini ke Hawaii. Fiuh! 

Kebiasaan buruk kalau aktivitas sedang padat-padatnya itu seringnya saya jadi suka lupa minum. Akibatnya bisa ditebak: panas dalam deh. Biasanya kalau udah begitu, saya selalu menangkal dengan minuman andalan yang memang #ahlinyapanasdalam . Yesss, apa lagi kalau bukan Larutan Cap Kaki Tiga, ya kaaan. Soalnya sudah sering saya buktiin sendiri, minuman ini bisa mencegah dan mengobati panas dalam, radang tenggorokan, sariawan, dan membantu menyegarkan tubuh. Nggak heran kalau larutan ini dipercaya sebagai ahlinya panas dalam secara turun temurun, karena sudah menemani keluarga Indonesia selama 80 tahun. Jelas dong Larutan Cap Kaki Tiga ini benar-benar #pilihanbenar untuk ahlinya panas dalam :) Btw, saya paling suka yang rasa leci. Kamu suka rasa apa?



Manage energy

Mengatur energi. 

Kebanyakan orang hanya terpaku pada pengaturan waktu, tapi bingung kok bisa sih si A melakukan jauh lebih banyak hal daripada saya? Padahal setiap orang diberi Tuhan waktu sama banyaknya lho: 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu. Bisa jadi, yang salah bukan soal pengaturan waktunya, tapi soal pengaturan energinya. 

Contoh: in between meetings, biasanya saya meluangkan waktu me-time sejenak entah sekedar mojok di cafe atau mendengarkan musik, untuk recharge energi sebelum lanjut ke meeting selanjutnya. Saya juga sadar bahwa fisik saya lebih aktif di siang hari, tapi otak saya jauh lebih kreatif saat malam hari. Maka biasanya kegiatan kreatif yang tidak melibatkan fisik tapi melibatkan otak dan pikiran, saya lakukan pada malam hari. Seperti saat menulis postingan ini, saya mulai tengah malam tadi, dan sekarang... astaga, sudah jam 5 pagi! Yuk bobo dulu yaaa :D 

Cheers,
Nuniek Tirta

Popular posts from this blog

The Waiting Room of Life

There are few things in life that test our character more than waiting. Not the kind of waiting where you’re stuck in traffic with your favorite playlist on, but the heavy kind; waiting without certainty. The waiting that weighs on you because you don’t know if it will end tomorrow, next month, or next year. I’ve been thinking a lot about this today because something big just wrapped up. A long-awaited promise was finally fulfilled. And in the process, I witnessed firsthand how differently people behave when placed in the uncomfortable chair of “ the waiting room of life. ” Imagine a waiting room where everyone has been told their name will be called someday, maybe soon, maybe late. You’d see at least two kinds of people. Some people sit quietly, open a book, maybe start a new project on the side while glancing occasionally at the clock. They don’t need to narrate their suffering to the entire room.  They choose dignity over drama.  They know that patience doesn’t have to be ...

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

Staycation, Wedding Edition

A simple staycation turns magical; with seaside noodles, wedding joy, hotel robots, and small surprises that quietly reset the soul.

What's the point of wealth?

At Permata Wealth Wisdom, lessons on economy and neurology collide; revealing that true resilience begins with a connected, healthy mind.

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

A Series of Plot Twists

A day full of unexpected turns becomes a reminder to embrace life’s plot twists with humor, grace, and gratitude; because detours make the best stories.

Waiting and Celebrating

This morning was wonderfully slow, the kind of slow where time doesn’t feel wasted but savored. Everyone in the house had their own lazy rhythm. No alarms, no rush, just soft hours unfolding. By two in the afternoon, we finally left for Pondok Gede to check our first house.  We had it lightly renovated: The old, tired canopy was taken down, so the two-story house could breathe and look elegant again. The walls and fence got a fresh coat of white paint, giving it that “new beginnings” look. The cracked tiles were replaced, no more tripping hazards waiting for unsuspecting guests. The windows were repainted, catching a bit of shine when the sun hits. House for sell or rent, near Mall Pondok Gede. Contact here. Now it’s neat, clean, and... how do I say this... ready to meet its "jodoh".  Although we don’t know yet if the match is a buyer or a tenant. Should we sell it? Should we rent it out? We don’t have the answer yet. And for someone like me, uncertainty is both fascinating a...

Less Fighting, More Understanding

Sunday mornings have this magical way of stretching out slowly, like they don’t want to end. This morning was one of those slow mornings, the kind where the house hums gently, everyone moves at their own pace, and there’s no rush to do anything other than exist. We had plans to go to church, but of course, life had its own little lesson in patience: the War Ticket frenzy. Thousands of people rushing online just to get a spot for worship every week; it’s kind of insane when you think about it. Praise the Lord indeed for the technology that lets us all battle for our pews without elbowing anyone physically. After church, we went for a late lunch, and that’s when I discovered MOKKA tucked away in a corner of the mall. I’ve walked past this mall so many times, but I never noticed it before. It’s funny how sometimes good things are hiding in plain sight, waiting for someone else to point them out. The restaurant was quiet compared to the line at Lekko just down the hall. And while MOKKA’s f...

Going Home with a 270 Million Bill and a Prayer

Thursday, August 21, 2025 This is it! The day I finally got discharged after 10 nights in the hospital. After surviving ESWL for kidney stones + laparoscopy for appendix + mini laparotomy for myom and uterus removal.  In the morning, Dr. Eko came by with the golden ticket: “You can go home today.” And previously, Dr. Ong team also said the same. Finally! I’d been waiting for that sentence like a kid waiting for recess. Of course, it’s never as simple as “the doctor said I can go home.” Nope. There’s a whole backstage performance involving the nurses, admin, pharmacy, and let’s not forget the insurance company. Meanwhile, my husband was busy running back and forth between the hospital room and the car, carrying bags, while I reminded him, “Don’t forget to buy bread for the nurses and staff.”  Doctor on duty replaced the dressing on my laparoscopy wounds, but left the laparotomy one alone. Too wet, too risky. I didn’t even argue, I’m just glad someone else was brave enough to de...

What if peace had an address?

An early trip to Puncak leads to riverside calm, local kindness, and quiet joy.