Skip to main content

DISPLACEMENT

Duluuu saya tidak
mengerti, mengapa saya bisa senang dan tenang seharian bersama anak-anak, namun
begitu suami pulang saya menjadi uring-uringan, lebih mudah tersinggung dan
gampang marah pada anak-anak. Padahal suami tidak berbuat apa-apa dan saya juga
tidak merasa ada masalah dengan suami. Awalnya saya pikir apakah karena suami
sering pulang terlambat. Tapi begitu dia pulang tepat waktu pun saya tetap
merasakan hal yang sama. Atau apakah karena anak-anak lebih sulit diatur ketika
ada ayahnya? Tidak juga. Lalu, apa yang terjadi?

Setelah
belajar ilmu psikologi melalui kuliah konseling, saya mempelajari apa yang dinamakan  displacement  sebagai
salah satu  self defense mechanism.

image

Displacement is the redirecting of thoughts feelings and
impulses directed at one person or object, but taken out upon another person or
object. People often use displacement when they cannot express their feelings
in a safe manner to the person they are directed at. The classic example is the
man who gets angry at his boss, but can’t express his anger to his boss for
fear of being fired. He instead comes home and kicks the dog or starts an
argument with his wife. The man is redirecting his anger from his boss to his
dog or wife. Naturally, this is a pretty ineffective defense mechanism, because
while the anger finds a route for expression, it’s misapplication to other
harmless people or objects will cause additional problems for most people.”
Source: http://psychcentral.com/lib/15-common-defense-mechanisms/2/

Intinya adalah
kemarahan atau kekecewaan yang salah sasaran. Jadi sebenarnya secara sadar
ataupun tidak, begitu suami pulang, otomatis timbul harapan saya untuk mendapatkan
perhatian. Namun saya kecewa dengan perilaku suami saat itu yang pulang hanya untuk
makan, nonton tv, tidur. Tetapi saya tidak bisa mengidentifikasi kekecewaan
saya sendiri, karena logika saya berpikir bahwa suami sudah capek. Sedangkan
kebutuhan emosi utama saya sebagai wanita yaitu afeksi, tidak terpenuhi sama
sekali. Afeksi yang saya butuhkan berupa perhatian, entah sekedar ditanyakan
“how was your day?”, atau syukur2 dibawakan makanan kesukaan, itu belum
terpenuhi. Ingat, afeksi ya, bukan sexual
fulfillment (which is the first emotional need of men based on His Needs Her
Needs book by William Harley)
. Karena affection
dan sexual fulfillment adalah dua
hal yang sama sekali berbeda.
 

Bagaimana saya
bisa mengutarakan kekecewaan saya kalau saya cepat-cepat merasionalisasi dengan
berkata pada diri sendiri, “Ah saya terlalu penuntut!” Di lain pihak, suami pun
juga pastinya tidak nyaman ketika pulang melihat saya uring-uringan. Saya tidak
tahu apa yang terjadi, dia pun juga tidak tahu apa yang terjadi. Ditambah lagi
apabila ia juga sedang menghadapi masalah di pekerjaan, bagaimana mau berbagi
dengan istri kalau istrinya terlihat marah marah melulu? Sedangkan saya juga
bagaimana bisa ngomong kalau melihat suami saja sudah jengkel karena cuek
bebek. Kalau sudah begitu, tingkat toleransi kami terhadap kesalahan anak-anak
jadi menurun jauh. Bahkan kadang yang tidak salah pun jadi salah. Terjadilah yang
dinamakan displacement.
Duh, semua
jadi tak nyaman kan.

Meskipun saya
sudah memahami konsep mengelola harapan alias managing expectation, nyatanya saat itu saya belum mastering  skill how to convey my expectations. Untunglah
ketika saya dan suami mengikuti retreat pasutri beberapa tahun lalu, kami bisa
saling mengkomunikasikan secara terbuka sepenuhnya apa yang menjadi harapan dan
kekecewaan kami selama ini. Satu hal yang terus digarisbawahi selama mengikuti
retreat pasutri: jangan pernah mengharapkan pasangan berubah. Jangan.
Lho, kenapa? Pertama, manusia hanya mau berubah ketika keinginan datang dari dalam
dirinya sendiri. Kedua, karena poin pertama tadi, maka kita akan selalu kecewa
ketika harapan kita tidak terpenuhi. Ketiga, yang bisa kita lakukan adalah,
ubah diri sendiri!

Lho, kok, dia
yang salah, kitanya yang harus berubah? Hmm, salah dari kacamata siapa dulu?
Kalau dari kacamata saya, tentu suami yang salah, wong nggak bisa ngerti
keinginan istri. Tapi dari kacamata suami, tentu saya yang salah, wong bisanya
cuma marah marah. Suami mana tau apa keinginan saya kalau saya nggak pernah
bilang kan? Dan kalaupun pernah, saya bilangnya sebel kalau dia pulang
terlambat. Padahal bukan pulang terlambatnya, tapi nggak ada perhatiannya itu
yang bikin saya sebel. Dan itu tidak saya ungkapkan karena takut dibilang
terlalu menuntut. Ujung-ujungnya ya itu tadi, saya jadi uring-uringan karena
kebutuhan akan afeksi tidak terpenuhi.

Jadi, solusinya
apa? Pertama, akui dulu pada diri sendiri kalau kalau kita memang punya kebutuhan akan afeksi yang belum terpenuhi. Lalu, ini yg penting: ngomong aja! Ngomong, tanpa takut dihakimi (bahkan oleh diri sendiri)
kalau saya jadi seperti terlalu menuntut. Ngomong, tanpa takut kecewa jika
harapan yang saya utarakan nantinya tidak bisa terpenuhi. Ngomong, supaya
sinkron. Dan ternyata memang, dengan mengungkapkan apa harapan saya sebenarnya, itu sudah membuat saya lega. Persoalan dipenuhi atau tidak, sebenarnya tidak
terlalu berarti. Istilahnya, keluarkan dulu kotoran yang mengendap di tangki
hati, agar bisa diisi dengan air bersih yang baru.
Dan biasanya sih, ketika
kita mampu mengkomunikasikan dengan cara yang tepat, pasangan bisa mengerti dan
mau menyesuaikan kok. Kita kan manusia, diberi keistimewaan oleh Tuhan dengan
kemampuan pikiran dan perasaan, supaya bisa berkomunikasi dengan cara yang
manusiawi pula. Kalau dipikir-pikir, saya dulu seperti kelinci peliharaan saya
saja deh, yang kalau tidak melihat saya tampak anteng-anteng saja, tapi begitu
melihat saya langsung rusuh sana sini untuk mendapatkan perhatian supaya diberi
makan =))

Selasa, 1 September
2015 09:35

Nuniek Tirta
Ardianto

*Ditulis sambil
ngemil otak-otak kesukaan yang dibawakan suami semalam :)

Popular posts from this blog

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

Staycation, Wedding Edition

A simple staycation turns magical; with seaside noodles, wedding joy, hotel robots, and small surprises that quietly reset the soul.

What's the point of wealth?

At Permata Wealth Wisdom, lessons on economy and neurology collide; revealing that true resilience begins with a connected, healthy mind.

A Series of Plot Twists

A day full of unexpected turns becomes a reminder to embrace life’s plot twists with humor, grace, and gratitude; because detours make the best stories.

The Waiting Room of Life

There are few things in life that test our character more than waiting. Not the kind of waiting where you’re stuck in traffic with your favorite playlist on, but the heavy kind; waiting without certainty. The waiting that weighs on you because you don’t know if it will end tomorrow, next month, or next year. I’ve been thinking a lot about this today because something big just wrapped up. A long-awaited promise was finally fulfilled. And in the process, I witnessed firsthand how differently people behave when placed in the uncomfortable chair of “ the waiting room of life. ” Imagine a waiting room where everyone has been told their name will be called someday, maybe soon, maybe late. You’d see at least two kinds of people. Some people sit quietly, open a book, maybe start a new project on the side while glancing occasionally at the clock. They don’t need to narrate their suffering to the entire room.  They choose dignity over drama.  They know that patience doesn’t have to be ...

What if peace had an address?

An early trip to Puncak leads to riverside calm, local kindness, and quiet joy. 

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...

Waiting and Celebrating

This morning was wonderfully slow, the kind of slow where time doesn’t feel wasted but savored. Everyone in the house had their own lazy rhythm. No alarms, no rush, just soft hours unfolding. By two in the afternoon, we finally left for Pondok Gede to check our first house.  We had it lightly renovated: The old, tired canopy was taken down, so the two-story house could breathe and look elegant again. The walls and fence got a fresh coat of white paint, giving it that “new beginnings” look. The cracked tiles were replaced, no more tripping hazards waiting for unsuspecting guests. The windows were repainted, catching a bit of shine when the sun hits. House for sell or rent, near Mall Pondok Gede. Contact here. Now it’s neat, clean, and... how do I say this... ready to meet its "jodoh".  Although we don’t know yet if the match is a buyer or a tenant. Should we sell it? Should we rent it out? We don’t have the answer yet. And for someone like me, uncertainty is both fascinating a...

Less Fighting, More Understanding

Sunday mornings have this magical way of stretching out slowly, like they don’t want to end. This morning was one of those slow mornings, the kind where the house hums gently, everyone moves at their own pace, and there’s no rush to do anything other than exist. We had plans to go to church, but of course, life had its own little lesson in patience: the War Ticket frenzy. Thousands of people rushing online just to get a spot for worship every week; it’s kind of insane when you think about it. Praise the Lord indeed for the technology that lets us all battle for our pews without elbowing anyone physically. After church, we went for a late lunch, and that’s when I discovered MOKKA tucked away in a corner of the mall. I’ve walked past this mall so many times, but I never noticed it before. It’s funny how sometimes good things are hiding in plain sight, waiting for someone else to point them out. The restaurant was quiet compared to the line at Lekko just down the hall. And while MOKKA’s f...