Skip to main content
[gallery]

Terminal Illness Caregiver Counseling 

Akhir bulan lalu, saya ditemani ibu mertua melakukan pelawatan sekaligus konseling pendamping pasien terminal illness. Kami menjenguk Bapak D di daerah Jakarta Timur dan disambut dengan hangat oleh istrinya yang adalah kawan dari ibu mertua saya. Beliau memberitahu suaminya akan kedatangan kami, meskipun suaminya tidak bisa merespon. “Pak, ada Bu S dan mantunya nih, jengukBapak”, ujarnya lembut dengan tersenyum. Kami mengobrol dengan Bu D selama 1 jam, sambil sesekali terinterupsi tatkala suaminya membutuhkanpenanganan.

Ibu
D telah 4 tahun merawat Pak D yang kini hanya bisa tergolek di
tempat tidur karena komplikasi berbagai macam penyakit. Pak D saat ini
berusia 76 tahun, sedangkan Bu D berusia 64 tahun. Mereka telah menikah
selama 43 tahun, sejak tahun 1972. Mereka baru dikaruniai seorang putra setelah
11 tahun menikah, yang kini juga telah menikah dan memiliki seorang putri.

Pak
D telah tergolek di tempat tidur dan tidak bisa apa-apa lagi sejak
Januari 2011. Setelah sakit-sakitan selama beberapa tahun, kondisinya semakin menurun setelah menikahkan anaknya. Saat fisioterapi di sebuah rumah sakit, dokter
blak-blakan bilang “Sakit kayak gini nggak bisa sembuh, bisa juga lumpuh”.
Sejak itu ia jadi anti dokter dan drop. Sebelumnya ia masih bisa jalan
merembet, namun karena sering terjatuh, Bu D melarangnya berjalan lagi.
Belakangan Bu D merasa menyesal telah melarangnya karena itu membuat Pak
D patah semangat dan tidak mau berusaha berjalan lagi.

Penyakit
Pak D merupakan komplikasi dari berbagai penyakit yang telah diderita
sejak muda, seperti batu ginjal, darah tinggi, dan lain-lain. Awalnya tidak
bisa berjalan karena pengapuran. Dokter bilang karena stroke ringan, namun Bu
D merasa itu bukan stroke karena semua terjadi tidak tiba-tiba tapi
bertahap. Mula-mula Pak D masih bisa diajak berbicara tetapi responnya
malas-malasan bahkan terkadang marah jika sering diajak berbicara. Lama
kelamaan Pak D tidak bisa berbicara lagi sama sekali.  Saat ini komunikasi verbal tidak bisa tapi
kalau Bu D bicara, Pak D tampak mengerti dan bisa merespon dari
pandangan matanya.

Selama
4 tahun ini tidak pernah ke dokter lagi dan tidak pakai obat-obatan atau infus,
karena kalau pakai obat sering keringat dingin dan badannya tidak enak. Indikator
kesehatan Pak D menurut Bu D: kalau tidur tidak gelisah, alat
kelaminnya tidak mengecil terus dan masih berfungsi terutama pada pagi hari.
Setiap hari Pak D disuapi bubur yang dibuat sendiri oleh Bu D,
seperti bubur bayi.

Selama
4 tahun mengurus suami dengan kondisi tersebut, Bu D tidak pernah merasa
sulit, hanya merasa cemas kalau suaminya merasa sakit, karena selama ini
meskipun sakit tapi suaminya tidak merasa kesakitan. Sempat ada masanya Bu
D mengalami denial, tapi tidak lama, hanya 3 bulanan. Dulu sewaktu
suaminya masih bisa berjalan, suaminya juga sempat galak selama 3 bulanan.
Namun setelah tergeletak di tempat tidur seperti sekarang, sudah tidak pernah
galak atau marah sama sekali.

Kegiatan sehari-harinya didedikasikan penuh
untuk mengurus suami, karena harus ditemani 24 jam. Ia tidur jam 1 pagi, bangun
jam 3 pagi. Hanya 2-3 jam saja. Ditambah tidur siang 30 menit, sambil ngeloni
suami atau cucu. Jam 4:30 dipasang lagu-lagu Sinar Kasih. Satu-satunya waktu
keluar Bu D adalah ke gereja setiap minggu jam 6 pagi, karena bisa gantian
jaga dengan anaknya. Kalau melayat masih bisa kalau ada yang jaga. Tapi kalau
acara malam seperti kebaktian wilayah, paduan suara, dan lain-lain sudah tidak bisa
lagi. Suaminya tidak pernah ditinggal sendirian di rumah sama sekali, harus
selalu ada yang menjaga. Hiburan sehari-hari hanya menjaga suami dan cucu.
Nonton tv tidak sempat lagi, paling hanya malam hari sesekali.

Hal
yang menguatkan Bu D selama mengurus suaminya adalah karena percaya pada
anugerah Tuhan. Keadaan ini membuat dirinya berubah 180 derajat menjadi lebih
baik. Sebelum mengurus suaminya, ia sangat mudah jijik, bahkan bisa langsung
muntah jika melihat kotoran. Ia merasa dahulu tidak melayani suami secara penuh
karena sama-sama kerja, maka sekaranglah waktunya melayani secara penuh. Ia mengambil
kesempatan mengurus suaminya ini sebagai cara memupuk kesabaran dan kesetiaan.
Dulu ia yang dimanja oleh suami, sekarang sebaliknya. Ia ingin memanjakan
suami. Selain senang memanjakan, dahulu suaminya juga senang bercanda.
Sedangkan dahulu Bu D tidak suka bercanda, terlalu serius. Sekarang
berubah, sejak usia 60 tahun ia merasa lebih bisa bercanda untuk menghibur
suaminya.

Selain
menjaga suami, Bu D juga sempat menjaga cucu sendirian selama 4 bulan,
dari cucu umur 3 bulan sampai 7 bulan. Semua mungkin karena kuasa Tuhan, hanya
Dia yang mampu memberikan kuasa lebih. Jika dipikir secara akal manusia,
rasanya tidak mungkin. Namun jika berserah kepada Tuhan, tidak ada hal yang
mustahil. Dirinya sempat sakit, selama sebulan dirawat di rumah sakit dua kali.
Tapi dengan ujian itu, putra semata wayangnya jadi pintar mengurus Pak D.

Harapannya
walaupun keadaaan suaminya tidak bisa berjalan, tidak bisa bicara, namun tidak
kesakitan. Ia berharap semoga bisa diberi kesabaran lebih agar masih bisa
merawat, karena dulu ia merasa tidak sabaran, jadi dengan begini ia berharap
bisa lebih sabar. Kalau masih boleh nawar sama Tuhan, ia berharap agar suaminya
jangan dipanggil menghadap Tuhan dulu. Ia masih ingin mengurus suaminya lebih
lama lagi. Pernah ada pendeta yang datang dan mendoakan agar merelakan suaminya
jika ingin menghadap Tuhan, tapi Bu D keberatan dengan doa tersebut. Ia
masih ingin merawat suami sepuasnya, hingga akhir hayatnya. Namun demikian,
jika Tuhan menghendaki lain, ia pun telah rela dan berserah kepada-Nya.

Dari
kunjungan pelawatan ini, saya belajar banyak tentang besarnya kasih setia Tuhan
kepada umat-Nya, betapa Ia mampu membentuk manusia menjadi lebih baik meskipun
melalui kesusahan. Ada sukacita di balik kesedihan, ada hikmah di balik
kesusahan. Saya juga belajar banyak tentang arti kesabaran dan kesetiaan dalam
sebuah pernikahan.

Popular posts from this blog

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

Staycation, Wedding Edition

A simple staycation turns magical; with seaside noodles, wedding joy, hotel robots, and small surprises that quietly reset the soul.

What's the point of wealth?

At Permata Wealth Wisdom, lessons on economy and neurology collide; revealing that true resilience begins with a connected, healthy mind.

What if peace had an address?

An early trip to Puncak leads to riverside calm, local kindness, and quiet joy. 

A Series of Plot Twists

A day full of unexpected turns becomes a reminder to embrace life’s plot twists with humor, grace, and gratitude; because detours make the best stories.

The Waiting Room of Life

There are few things in life that test our character more than waiting. Not the kind of waiting where you’re stuck in traffic with your favorite playlist on, but the heavy kind; waiting without certainty. The waiting that weighs on you because you don’t know if it will end tomorrow, next month, or next year. I’ve been thinking a lot about this today because something big just wrapped up. A long-awaited promise was finally fulfilled. And in the process, I witnessed firsthand how differently people behave when placed in the uncomfortable chair of “ the waiting room of life. ” Imagine a waiting room where everyone has been told their name will be called someday, maybe soon, maybe late. You’d see at least two kinds of people. Some people sit quietly, open a book, maybe start a new project on the side while glancing occasionally at the clock. They don’t need to narrate their suffering to the entire room.  They choose dignity over drama.  They know that patience doesn’t have to be ...

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...

Waiting and Celebrating

This morning was wonderfully slow, the kind of slow where time doesn’t feel wasted but savored. Everyone in the house had their own lazy rhythm. No alarms, no rush, just soft hours unfolding. By two in the afternoon, we finally left for Pondok Gede to check our first house.  We had it lightly renovated: The old, tired canopy was taken down, so the two-story house could breathe and look elegant again. The walls and fence got a fresh coat of white paint, giving it that “new beginnings” look. The cracked tiles were replaced, no more tripping hazards waiting for unsuspecting guests. The windows were repainted, catching a bit of shine when the sun hits. House for sell or rent, near Mall Pondok Gede. Contact here. Now it’s neat, clean, and... how do I say this... ready to meet its "jodoh".  Although we don’t know yet if the match is a buyer or a tenant. Should we sell it? Should we rent it out? We don’t have the answer yet. And for someone like me, uncertainty is both fascinating a...

Right Place Right Time

A day of divine timing, chance reunions, and perfect coincidences.