Skip to main content

Karakteristik Perkawinan yang Berhasil (Bagian 3 dari 3)

Ini adalah bagian terakhir setelah tulisan pertama dan kedua

Tulisan asli dalam bahasa Inggris, saya menerjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia.

12 Karakteristik Pernikahan yang Berhasil:

9.      Unselfishness (TidakMementingkan Diri Sendiri)

Terlalu mementingkan diri sendiri dalam pernikahan mengurangi tanggung jawab masing-masing pasangan
untuk keberhasilan hubungan. Keberhasilan perkawinan berdasarkan pada semangat
saling menolong, dengan cara memenuhi kebutuhan pasangannya sebaik memenuhi kebutuhan
dirinya sendiri.

10.      Empathy and Sensitivity (Empati
dan Kepekaan)

Empati
mengacu pada kemampuan untuk mengidentifikasi dengan perasaan, pemikiran, dan
sikap orang lain. Orang yang berempati adalah orang yang mendengarkan, memahami, dan peduli. Menurut
hasil riset, empati merupakan bahan penting dalam keberhasilan pernikahan.

11.      Honesty, Trust, and Fidelity (Kejujuran,
Kepercayaan, dan Kesetiaan)

Ketulusan,
kebenaran, kesetiaan, dan kepercayaan adalah hal-hal yang mengikat pasangan
untuk terus bersama. Sekali saja rasa percaya dirusak, membangunnya kembali
akan sangat sulit dan melibatkan kerelaan untuk memaafkan. Ketika salah satu
pihak melukai pihak lainnya namun mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf,
hubungan itu dapat dibangun kembali hanya jika pihak yang dilukai bersedia
memaafkan pasangannya.

12.      Adaptability, Flexibility, and
Tolerance
(Adaptasi, Fleksibilitas, dan Toleransi)

Pasangan
yang pernikahannya berhasil, biasanya mampu beradaptasi dan fleksibel. Mereka mengakui bahwa setiap manusia memiliki sikap, nilai-nilai, kebiasaan,
proses berpikir, dan cara yang berbeda-beda satu sama lain. Mereka juga
mengakui bahwa hidup ini tidak statis, bahwa situasi dan keadaan berubah
sebagaimana manusia melewati berbagai tingkatan dalam siklus kehidupan. Mereka
mau dan mampu beradaptasi terhadap perubahan keadaan, memahami bahwa perubahan
adalah hal yang tidak dapat dihindarkan. Mereka tumbuh sebagaimana pasangannya
berevolusi dan berubah dan menyesuaikan harapan terhadap hubungan sebgaimana
dibutuhkan. Adaptasi dan fleksibilitas membutuhkan tingkat kedewasaan emosional
yang tinggi. Orang-orang yang fleksibel tidak merasa terancam oleh perubahan.
Mereka menerima tantangan perubahan karena bagi mereka perubahan itu memberikan
kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang.

Semoga bermanfaat :)

Comments

Popular posts from this blog

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

Sunday at IdeaFest: Purbaya, Agak Laen!

A full day at IdeaFest 2025 with Agak Laen, Purbaya, Ben Soebiakto and Bilal Faranov. Laughter, insight, and creativity everywhere.

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...
[gallery] Kakek tua ini mondar mandir menjajakan tisu kepada semua orang yang sedang menunggu di Halte Stasiun UI. Tongkat besi membantu langkah kakinya yang hitam keriput. Saya tidak butuh tisu, tapi saya punya selembar duaribuan. Ya bolehlah, siapa tau nanti butuh. Saya berikan lembaran itu, dia serahkan satu bungkus tisu. Kemudian dia duduk persis di samping saya. Menaikkan kaki, merogoh sesuatu dari kantongnya, kemudian… Memantik api dan menyalakan sebatang dji sam soe. Aduh kakek, jadi capek2 jualan uangnya buat dibakar ngerusak tubuh doang? Rabu, 24 Februari 2015 Universitas Indoesia Nuniek Tirta

Why Love Never Fails?

A reflection on excellence, love, and transformation. How the year’s trials became lessons in divine refinement.

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

Berapa Biaya Liburan ke Resort di Maldives Sekeluarga?

Disclaimer: Sebelum berprasangka, tulisan ini dipublish bukan untuk tujuan riya, melainkan untuk berbagi informasi buat yang membutuhkan saja. Paham yaaa. 👻👻 Sebuah kiriman dibagikan oleh Nuniek Tirta (@nuniektirta) pada Apr 21, 2017 pada 8:40 PDT Judul di atas adalah pertanyaan yang cukup sering saya dapatkan dari teman-teman sejak saya pulang dari liburan sekeluarga di Maldives minggu lalu. Kalo banyak yang nanyain berarti banyak yang pingin tau  informasinya,  jadi saya tulis di sini aja ya.  Semoga bisa jadi gambaran buat teman-teman untuk mempersiapkan budget liburan keluarga ke resort di Maldives. Silakan dishare ke pasangan buat kode-kode, ehehehe.  Tahun ini bukan pertama kalinya saya ke Maldives. Sebab dua tahun lalu saya dan suami sudah pernah liburan ke Maldives berdua saja untuk ritual hornymoon di ulang tahun pernikahan kami. Oleh-oleh dalam bentuk tulisan saya untuk LiveOlive bisa dikonsumsi gratis di sini:  Tips Libura...

When a School Feels Like a Nation

A school cultural festival that celebrates diversity, tradition, and the joy of learning together.

Can Growth Ever Be Truly Mutual?

Reflections from Simbiosis Bisnis 2025; on true collaboration, comfort zones, and finding mutual growth in business and life.

What If the Minister Didn’t Show Up, But the Wisdom Still Did?

When the minister didn’t show up, wisdom did. A day of unexpected lessons and inspiration. "Disappointment has a funny way of turning into wisdom, if you stay long enough to listen."   —   Nuniek Tirta Sari So, I woke up early today. Like,   really   early. My mission: to attend the OCBC Business Forum 2025 in St. Regis Kuningan and listen to the new Minister of Finance, Mr. Purbaya's speech.  After wrestling through Jakarta’s legendary morning traffic for 2 hours, I finally arrived at the venue. The first dialogue session was already running, and I panicked, thinking I’d missed the minister’s talk. But when I looked at the latest rundown, surprise! His name was nowhere to be found. Apparently, he’d never confirmed attendance in the final version. Ah, the classic “expectation vs. reality” moment. OCBC Business Forum 2025 I just laughed. Not even disappointed anymore, just… amused. Because really, what else can you do when the main reason you came didn’t show up...