Skip to main content

Duka

image



Baru Senin lalu mama mertua keluar dari RS setelah diopname 5 hari karena hipertensi, Senin ini saya menjenguk adik bungsu yang diopname di RS sejak kemarin karena gangguan pencernaan. Berangkat dari rumah ke RS butuh waktu tempuh 2 jam naik angkot dan trans jakarta karena macetnya luar biasa. Sengaja tidak naik Uber atau taksi atau ojek karena rutenya tidak lebih cepat. Capek sih, dan gerah banget pastinya, tapi hiburan saya saat macet adalah mengamati orang2 di dalam kendaraan umum atau di pinggir jalan =) 


Sampai di RS, adik saya sedang dijenguk oleh temannya yang bulan lalu baru saja kehilangan anak, istri, dan ibu mertuanya sekaligus dalam satu kecelakaan mobil di Perancis. Ceritanya, mereka sedang akan menjemput teman adik saya itu yang baru datang dari Indonesia. Mereka hendak berbelok ke masjid untuk sholat, saat truk datang menghantam hingga membuat mobil mereka terguling-guling dan dihantam lagi oleh mobil lain. Anaknya yang baru berusia 4 bulan dan ibu mertuanya tewas di tempat, sedangkan istrinya sempat kritis selama 2 jam sebelum akhirnya berpulang.. 


Setelah teman adik saya itu pamit, tidak lama kemudian pasien yang satu ruangan dengan adik saya tiba-tiba saja kritis. Usianya 68 tahun, perempuan, saya tidak tahu namanya, hanya tahu dipanggil Opung oleh anak perempuan dan cucu laki-lakinya yang berusia sekitar 8 tahun. Saya mendengar dan menyaksikan semenjak ia mengorok kencang, diberi nafas buatan, dipompa jantungnya, ditangani oleh sekitar 3 dokter dan 5 suster selama hampir 2 jam, hingga akhirnya tidak tertolong lagi… 


Karena kebetulan saudara seiman, saya ajak anak perempuan opung tersebut dan cucunya untuk berdoa bersama sejak awal opung itu kritis. Ibu itu memeluk saya erat, dan saya biarkan ia menangis sejadinya di dekapan saya. Ia terus memanggil-manggil ibunya, dan ketika akhirnya dokter menyatakan bahwa ibunya telah tiada, ia histeris kencang… “Mamiiii! Mamiiii! Bangun mamiii!! Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagiii! Aku sudah tidak punya suami, sekarang aku kehilangan mamiii! Mami jahattt.. Mami jahattt… Apa dosaku mamiii…." 


Tak lama setelah opung itu dinyatakan meninggal, mama saya datang langsung dari pulau Bangka - Sumatera. Saya harus segera pulang sebelum anak-anak pulang, karena kami tidak menggunakan jasa pembantu full time. Sepanjang perjalanan pulang selama satu jam, saya memikirkan apa yang hendak Tuhan sampaikan dengan cara memberikan pengalaman barusan. Mengapa banyak sekali kejadian yang berkaitan dengan kematian? Sus Carla, tetangga kami yang berusia 69 tahun juga minggu lalu meninggal setelah koma hampir sebulan lamanya. 


Dari pelatihan Trauma Healing yang saya ikuti beberapa waktu lalu, saya belajar banyak tentang kedukaan. Berdukacita adalah menangisi suatu kehilangan. Melalui proses berdukacita, kesadaran diri seseorang berubah dan menyesuaikan kepada pola hidup yang baru, dan ini memerlukan waktu dan energi. Berdukacita menjadi bagian dari proses pemulihan yang wajar atas suatu kehilangan. 


Airmata adalah jalan yang disediakan Tuhan untuk membuang kesedihan dari tubuh kita. Menangis adalah bagian penting dalam proses berdukacita, baik untuk pria maupun wanita. Biarkan mereka mengeluarkan rasa marah atau kesedihan. Dengarkan ungkapan rasa sakit mereka, lebih banyaklah mendengar daripada berbicara. Pemulihan terjadi kalau mereka mengeluarkan rasa sakit di hatinya. 


Ada 3 Tahap Berduka:

1. Menyangkal & Marah. Biasanya selama 1 bulan. 

2. Tidak ada harapan. Biasanya 6-15 bulan. It gets worse during anniversary, special dates, atau tanggal terjadinya kehilangan. 

3. Hidup baru. Biasanya dalam 1-2 tahun. Seseorang menjadi lebih kuat, memulai hidup baru, lebih siap menghabiskan waktu dengan teman2, menikah lagi, hamil lagi, dsb. 


"One of the greatest feeling that we can give to traumatize people is to let them express their feeling to God. Do not preach them at this stage, just listen and let them know that you’ll stay beside them to get through. Timing is very important. Learn when is the right time to say the right thing.”


Semoga mereka yang kehilangan dapat memberikan cukup ruang dalam hati untuk berduka, sehingga ketika fase2 itu berhasil dilewati, tidak ada beban lagi nantinya. Amin.


Popular posts from this blog

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

Staycation, Wedding Edition

A simple staycation turns magical; with seaside noodles, wedding joy, hotel robots, and small surprises that quietly reset the soul.

What's the point of wealth?

At Permata Wealth Wisdom, lessons on economy and neurology collide; revealing that true resilience begins with a connected, healthy mind.

A Series of Plot Twists

A day full of unexpected turns becomes a reminder to embrace life’s plot twists with humor, grace, and gratitude; because detours make the best stories.

The Waiting Room of Life

There are few things in life that test our character more than waiting. Not the kind of waiting where you’re stuck in traffic with your favorite playlist on, but the heavy kind; waiting without certainty. The waiting that weighs on you because you don’t know if it will end tomorrow, next month, or next year. I’ve been thinking a lot about this today because something big just wrapped up. A long-awaited promise was finally fulfilled. And in the process, I witnessed firsthand how differently people behave when placed in the uncomfortable chair of “ the waiting room of life. ” Imagine a waiting room where everyone has been told their name will be called someday, maybe soon, maybe late. You’d see at least two kinds of people. Some people sit quietly, open a book, maybe start a new project on the side while glancing occasionally at the clock. They don’t need to narrate their suffering to the entire room.  They choose dignity over drama.  They know that patience doesn’t have to be ...

What if peace had an address?

An early trip to Puncak leads to riverside calm, local kindness, and quiet joy. 

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...

Waiting and Celebrating

This morning was wonderfully slow, the kind of slow where time doesn’t feel wasted but savored. Everyone in the house had their own lazy rhythm. No alarms, no rush, just soft hours unfolding. By two in the afternoon, we finally left for Pondok Gede to check our first house.  We had it lightly renovated: The old, tired canopy was taken down, so the two-story house could breathe and look elegant again. The walls and fence got a fresh coat of white paint, giving it that “new beginnings” look. The cracked tiles were replaced, no more tripping hazards waiting for unsuspecting guests. The windows were repainted, catching a bit of shine when the sun hits. House for sell or rent, near Mall Pondok Gede. Contact here. Now it’s neat, clean, and... how do I say this... ready to meet its "jodoh".  Although we don’t know yet if the match is a buyer or a tenant. Should we sell it? Should we rent it out? We don’t have the answer yet. And for someone like me, uncertainty is both fascinating a...

Less Fighting, More Understanding

Sunday mornings have this magical way of stretching out slowly, like they don’t want to end. This morning was one of those slow mornings, the kind where the house hums gently, everyone moves at their own pace, and there’s no rush to do anything other than exist. We had plans to go to church, but of course, life had its own little lesson in patience: the War Ticket frenzy. Thousands of people rushing online just to get a spot for worship every week; it’s kind of insane when you think about it. Praise the Lord indeed for the technology that lets us all battle for our pews without elbowing anyone physically. After church, we went for a late lunch, and that’s when I discovered MOKKA tucked away in a corner of the mall. I’ve walked past this mall so many times, but I never noticed it before. It’s funny how sometimes good things are hiding in plain sight, waiting for someone else to point them out. The restaurant was quiet compared to the line at Lekko just down the hall. And while MOKKA’s f...