“My life is such an open book,
anyone can read it”. Itu adalah kalimat yang aku tulis di profil Instagram @nuniektirta dan facebook Nuniek Tirta Sari, media sosial tempat bermainku.
Ya, hidupku seperti buku terbuka,
siapa saja bisa membacanya. Siapapun bisa mengambil pelajaran dari kehidupanku
yang kubagikan melalui tulisan. Buat yang belum tahu, aku mulai menulis di blog sejak 17 Januari 2002 (hampir 17 tahun lalu), meski beberapa tahun belakangan lebih sering menulis di media sosial saja.
Hidup ini kan singkat, dan setiap
orang pasti punya cerita, dan di setiap cerita itu pasti ada makna. Kupikir, dari
hidupku yang singkat ini aku bisalah membagikan cerita yang bermakna. Dan
sebagai seorang yang berkepribadian INFJ, kehausan terbesarku adalah dalam
mencari dan memberi makna.
Tapi aku masih punya satu hutang
pribadi: menulis buku.
Dari dulu mau nulis buku tentang
kehidupan pernikahan, kok ya maju mundur terus. Kebanyakan mikir: ntar kalo
ternyata (knock-knock on the wood) pernikahanku gagal gimana? Ntar kalo
ternyata (knock-knock on the wood) anak-anakku nakal gimana? Malu dong? Dan
masih banyak lagi “ntar kalo ternyata” “ntar gimana” yang lainnya.
Namun hari Minggu lalu aku seperti
diberikan sedikit “cubitan” oleh Tuhan. Pada ibadah kebaktian, aku diingatkan
oleh khotbah pendeta tentang kekhawatiran. Dan di hari yang sama pula, aku
diingatkan oleh ulama tentang menghadapi dan menyikapi kematian. Singkatnya
sudah aku bagikan di Instagram dan facebook seperti di bawah ini.
Renungan pribadiku malam itu
adalah: mengapa aku harus khawatir gagal dan malu? Mengapa membiarkan
kekhawatiran itu menjadi penghalang bagiku untuk mempersembahkan sesuatu yang
bermakna dan berguna bagi orang lain, sebelum aku mati? Lalu kalau tidak mulai
dari sekarang, kapan lagi?
"It's better to live a life with "Oh-well's, instead of "what-if's"", begitu kata Felicia Handojo, peserta termuda (baru lulus SD!) pada kelas NLP yang pernah aku ikuti, dan ditulis dengan indah oleh panutanku Pak Josef Batanoa pada blognya. (Baca di sini: Self Empowerment)
"It's better to live a life with "Oh-well's, instead of "what-if's"", begitu kata Felicia Handojo, peserta termuda (baru lulus SD!) pada kelas NLP yang pernah aku ikuti, dan ditulis dengan indah oleh panutanku Pak Josef Batanoa pada blognya. (Baca di sini: Self Empowerment)
So, mohon doanya ya semoga aku
bisa konsisten dan semangat melunasi hutang pribadiku: menulis buku. Amin!
0 Comments