Skip to main content

SENYUM YANG MENYELAMATKAN


Pada masa SMA, saya bersekolah di kawasan Bulungan. Hampir setiap hari saya pulang melalui stasiun Blok M. Di masa itu, Stasiun Blok M adalah terminal yang paling padat. Semua jenis bis untuk segala jurusan ada di sana.



Di suatu siang, saya berjalan seperti biasa. Mencari bis Metromini nomor 75 jurusan Blok M – Pasar Minggu. Bis itu biasa mengantarkan saya ke rumah orangtua di Mampang. Biasanya bis itu pada siang hari agak kosong.

Di tengah terik matahari, saya melewati segerombolan siswa. Sekolah saya memang berdekatan dengan STM Penerbangan. Tapi saya juga tidak yakin mereka siswa STM atau bukan. Bisa jadi mereka adalah pelajar SMA Poernama, sekolah swasta yang juga tidak jauh dari sekolah saya. Entahlah.

Di antara gerombolan itu, ada satu orang lelaki yang tersenyum sopan. Saya membalas senyumnya juga dengan sopan. Tidak seperti yang lainnya, yang cenderung berteriak-teriak sepeti monyet kelaparan. Saya melanjutkan langkah ke depan. Lalu menaiki bis yang mengantarkan saya pada tujuan.

Ketika berada di dalam bus, tiba-tiba rombongan itu naik ke bus yang saya tumpangi. Keadaan dalam bus menjadi ramai. Untung saya bukan satu-satunya penumpang bus itu. Jadi saya merasa agak sedikit aman.

Namun di tengah perjalanan, beberapa dari mereka mulai menggeledah isi tas seluruh penumpang. Tampaknya mereka sudah membagi tugas masing-masing. Ada yang bertugas menjaga pintu masuk dan keluar bus. Ada yang bertugas menggeledah tas. Ada yang bertugas mengancam. Dan sebagainya.

Tentu saja saya ketakutan. Tidak henti-hentinya saya berdoa dalam hati. Tapi saya berusaha keras untuk tetap terlihat tenang. Mereka menyusuri mulai dari bangku paling depan hingga belakang. Saya yang berada di kursi 1 baris dari belakang, merasa semakin ketakutan.

Apalagi pada hari itu kebetulan saya membawa uang bayaran sekolah yang lupa saya serahkan ke bagian Tata Usaha. Kalau uang ini sampai diambil, gawatlah ceritanya. Kasihan orang tua saya yang bersusah-payah mengumpulkannya.

Ketika mereka tiba pada bangku saya, tiba-tiba laki-laki yang tesenyum sopan  pada saya di halte tadi menahan tangan orang yang hendak menggeledah tas saya. Dia dengan tegas berkata, “JANGAN!”. Temannya itu pun hendak melawan, “APA-APAAN SIH?!”. Lalu dengan nada yang lebih tegas dan dalam, laki-laki itu sekali lagi mengatakan, “GUE BILANG JANGAN. LO MAU APA?”. Lalu temannya itu pun beranjak mundur.

Rupanya, laki-laki yang tersenyum sopan itu adalah kepala genk anak sekolah yang membajak metromini yang saya tumpangi itu. Hanya dengan bekal satu senyuman, ternyata saya bisa menyelamatkan diri dari marabahaya.  Entah apa jadinya jika saya tidak membalas senyumnya tadi. Mungkin nasib saya bisa sama seperti salah satu penumpang yang ditendang keluar dari bus karena melawan demi mempertahankan dompetnya. Sungguh mengenaskan.  

Ketika kita mengira tidak memiliki apa-apa untuk diberikan, ingatlah: kita selalu bisa memberikan senyuman. Kapan saja. Di mana saja. Kepada siapa saja. Tapi ingat, kita juga harus tahu cara menempatkan diri dan berperilaku. Jangan sampai senyuman itu justru menjadi bumerang bak senjata mematikan, karena orang salah menafsirkan.

Yang jelas pada hari itu saya sangat bersyukur, bahwa saya diselamatkan oleh satu senyuman saja. Senyum yang gratis. Tidak berbayar. Nyaris tanpa usaha. Dan bisa diberikan kepada siapa saja. Maka, jangan lupa, tersenyumlah. 

"Smile, it is the key that fits the lock of everybody's heart." ~ Anthony J. D'Angelo

Jakarta, 27 Desember 2018
Nuniek Tirta Ardianto

Comments

Popular posts from this blog

Sunday at IdeaFest: Purbaya, Agak Laen!

A full day at IdeaFest 2025 with Agak Laen, Purbaya, Ben Soebiakto and Bilal Faranov. Laughter, insight, and creativity everywhere.

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...
[gallery] Kakek tua ini mondar mandir menjajakan tisu kepada semua orang yang sedang menunggu di Halte Stasiun UI. Tongkat besi membantu langkah kakinya yang hitam keriput. Saya tidak butuh tisu, tapi saya punya selembar duaribuan. Ya bolehlah, siapa tau nanti butuh. Saya berikan lembaran itu, dia serahkan satu bungkus tisu. Kemudian dia duduk persis di samping saya. Menaikkan kaki, merogoh sesuatu dari kantongnya, kemudian… Memantik api dan menyalakan sebatang dji sam soe. Aduh kakek, jadi capek2 jualan uangnya buat dibakar ngerusak tubuh doang? Rabu, 24 Februari 2015 Universitas Indoesia Nuniek Tirta

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

Why Love Never Fails?

A reflection on excellence, love, and transformation. How the year’s trials became lessons in divine refinement.

What Happens When You Dare to Ask?

From a random DM to a mentoring journey and unexpected blessings, this story shows the real meaning behind “Ask, and it will be given to you.”

Can Growth Ever Be Truly Mutual?

Reflections from Simbiosis Bisnis 2025; on true collaboration, comfort zones, and finding mutual growth in business and life.

What Happens When You Quit Social Media for 3 Months?

Sharing my journey of mindful living, daily writing, purposeful apps, and how to come back intentionally after 3 months of social media detox.

When a School Feels Like a Nation

A school cultural festival that celebrates diversity, tradition, and the joy of learning together.