Fatigue - Happy Mother's Day!

Di dalam pesawat dari Los Angeles ke Hongkong, saya menonton film berjudul Tully. Dari sinopsis dan trailernya, saya kira film ini bakal biasa saja. Karena tidak ada film lainnya yang belum saya tonton, saya pikir ya sudahlah daripada nggak ada yang ditonton lagi.


Ternyata saya salah. Film ini bagus bagi saya, karena sangat relatable dengan kehidupan menjadi seorang ibu. Terutama, kehidupan menjadi ibu di masa-masa awal punya anak. Apalagi, punya anak lebih dari satu dan harus mengurus sendiri semuanya tanpa bantuan.

Saya tidak akan bercerita banyak tentang film itu supaya nggak spoiler ya, kamu harus tonton sendiri supaya dapat feel-nya. Tapi saya akan ceritakan relatable stories di kehidupan nyata saya sebagai ibu baru sekitar satu dekade lalu.

Saya punya 2 putri dengan jarak usia 16 bulan. Kondisinya waktu itu saya terpaksa berhenti bekerja karena anak kedua saya tidak bisa minum susu selain ASI, sedangkan ASI saya tidak bisa diperah. Setelah 6 bulan membawa bayi ke kantor tiap hari, akhirnya saya menyerah.

Pada waktu itu anak pertama saya sedang berada di fase trouble-two. Ia sering mencari perhatian dengan merebut apapun yang dipegang oleh adiknya. Sedangkan anak kedua saat itu baru berusia 8 bulan. Keduanya belum lancar bicara, hanya bahasa tarzan.

Ada masanya ketika saya tidak memiliki pengasuh dan pembantu sama sekali. Semuanya benar-benar dikerjakan sendiri. Mulai dari urus anak, urus rumah, urus suami, masih pula urus toko online yang saya miliki. Seakan saya punya sepuluh tangan dan kaki!

Yang saya rasakan tentu saja lelah, tapi saat itu saya menganggap kurang bersyukur kalau saya sampai mengeluh. Toh banyak yang mati-matian kepingin punya anak. Toh banyak yang bermimpi punya suami. Toh banyak yang kepingin punya bisnis sendiri.

Akhirnya saya semacam mengidap super power syndrome: merasa bak super hero bisa mengatasi semuanya sendiri. Merasa egois jika mengesampingkan kebutuhan diri sendiri untuk tetap waras. Merasa gagal sebagai ibu dan istri kalau tidak rela berkorban.

Padahal, yang terjadi berikutnya lebih berbahaya: saya burn out. Kelelahan luar biasa. Imbasnya adalah: mudah marah-marah. Monster dalam diri saya berjaya. Dan saya merasa tidak berdaya. Merasa semua usaha saya untuk menjadi ibu yang baik seperti sia-sia.

Beberapa kali saya kabur dari rumah. Mengira bahwa dengan kabur, saya bisa menyelesaikan masalah. Padahal itu sangat salah. Puncaknya adalah, ketika saya tidak langsung pulang ke rumah setelah berminggu-minggu berada di negeri Paman Sam beberapa tahun lalu.

Syukurlah pernikahan saya dan suami masih bisa terselamatkan, dengan bantuan doa, mentor dan konselor. Bahkan setelah prahara itu terjadi, kehidupan pernikahan kami sangat smooth sekali, adem ayem and never been better than before.

Yang terjadi di film Tully mungkin lebih dramatis dari film kehidupan saya. Tapi kesamaannya adalah: kesadaran pasangan sangat membantu proses pemulihan. Namun sebelum itu, tentu harus ada kesadaran diri dulu untuk menerima kenyataan: bahwa kita sebenarnya butuh pertolongan.

Sayangnya, society kita cenderung lebih mudah menghakimi ketimbang berempati. Seakan semua berlomba menjadi orang yang paling benar, tanpa terlebih dulu memahami situasi. Atau merasa paling paham situasinya dengan berkata, “Ah aku dulu juga begitu tapi fine-fine aja!”

Pada akhirnya, kita sendiri yang paling tahu situasi dan keterbatasan diri. Jangan memaksakan idealisme orang dan lingkungan melebihi yang mampu kita jalankan. Kalau merasa sudah tidak sanggup, jangan sungkan untuk mencari pertolongan.

Idealisme belakangan, yang paling penting adalah menjaga kewarasan! Semoga kita semua diberi hikmad untuk tetap sadar, bahwa keletihan itu wajar, bahkan superhero pun butuh tempat untuk bersandar.

Happy Mother's Day!

Jakarta, 22 Desember 2018
Nuniek Tirta Ardianto

Post a Comment

0 Comments