Skip to main content

Prinsip 3 Topi dalam Parenting






Semalam, putri pertama kami (9,5 tahun) melakukan ritual bersih-bersih sebelum tidur: mencuci muka dengan sabun pembersih wajah, sikat gigi dan mengoleskan body lotion, etc.

Melihatnya, suami berkomentar: “Kok sekarang ritualnya banyak amat sih?”
Putri pertama kami spontan menjawab: “Ya namanya juga mau remaja”
Sontak suami dengan lebaynya merespon, “Huaaaaaaaa! Tidaaaaakkk!”

Dan kemudian dilanjutkan dengan, “Pantesan sekarang sudah nggak mau pegangan tangan sama daddy lagi. Maunya cuma pegang bahu. Sudah nggak mau dicium-cium lagi. Huaaaaaaa!”

Saya tertawa melihat suami yang kelabakan anaknya sudah mau remaja dan tingginya sedikiiiitt lagi sudah sama dengan mommynya.

Change along your kids changes

Ya, kita sebagai orangtua harus berubah seiring dengan perubahan
anak-anak kita. Ketika anak beranjak remaja, ia sudah tidak bisa lagi
diperlakukan seperti balita, misalnya.
Menurut Arun Gogna dalam
bukunya Lasting Gifts You Can Give Your Children, sebagai orangtua kita memakai
3 topi yang memainkan peranan berbeda sesuai tahap kehidupan anak.
Inilah prinsip 3 topi
dalam parenting menurut Arun Gogna
:

1.   Controller Hat (Topi Pengontrol)
Pada LOJConference
yang saya ikuti beberapa waktu lalu, Arun Gogna mendemonstrasikan topi
pengontrol ini bentuknya seperti safety helm warna kuning/oranye yang sering dipakai
tukang bangunan. Topi ini kita pakai saat anak berusia 0 – 10 tahun. Dengan menggunakan
topi pengontrol ini, peran kita sebagai orangtua adalah mengontrol anak apa
yang harus, boleh, dan tidak boleh dilakukan. Pada periode ini, merupakan
tanggungjawab kita untuk memberi batasan kepada mereka agar mereka terhindar
dari hal-hal yang membahayakan. Kita juga dituntut untuk memberikan contoh
nyata, walk the talk. Kalau menyuruh anak gosok gigi sebelum tidur, ya kitanya
juga harus kasih contoh kalau kita sendiri gosok gigi sebelum tidur. Kalau menyuruh
anak bangun pagi, ya kitanya juga harus kasih contoh kalau kita sendiri bangun
pagi. Dan sebagainya.
2.   Coaching Hat (Topi Pelatih)
Topi pelatih ini bentuknya mirip topi pelatih
baseball. Topi ini dipakai ketika anak berusia remaja, 11 – 19 tahun. Ketika
memakai topi ini, kita tidak boleh lagi berada dalam “lapangan permainan”, tapi
harus berada di sisi lapangan, memantau mereka, hanya sesekali saja memanggil
mereka untuk memberikan arahan. Persis pelatih baseball lah. Pada masa ini,
anak tidak lagi membutuhkan informasi terlalu banyak dari orangtua; yang mereka
butuhkan adalah inspirasi. Jadi, kita harus menginspirasi mereka, dan tidak
lagi menginstruksi mereka. The main message of the Coach is: “I trust you to maket
he right decision.”

3.   Consultant Hat (Topi Konsultan)
Topi konsultan ini dipakai oleh orangtua ketika
anak-anak telah dewasa (20 tahun ke atas). Sebagai konsultan, orangtua
diharapkan memberikan masukan hanya
ketika diminta
. Masalahnya, menurut Arun Gogna, banyak orangtua yang tidak
rela melepaskan topi pelatih dan bahkan topi pengontrolnya, padahal sudah
saatnya mereka memakai topi konsultan karena anak mereka telah berusia dewasa.
Dan ini merupakan akar dari problem mertua – menantu pada umumnya. Yaitu ketika
orangtua masih menyuruh anak/menantu melakukan ini/itu, karena mereka masih
memakai topi pengontrol tadi. Saran dari Arun Gogna, apabila terjadi konflik
seperti itu, maka yang harus menghadapinya adalah anak kandung dari orangtua
tersebut.
Balik lagi ke cerita awal soal “kesedihan”
suami menghadapi anaknya yang sebentar lagi beranjak remaja, rasanya kita semua
sebagai orangtua juga akan/sedang/pernah mengalaminya. Mungkin kita tidak siap
melepaskan peran sebagai kontroller untuk menjadi pelatih lalu konsultan. Jujur
saja, sebagai orangtua kita pasti punya tendensi untuk mengontrol anak sesuai
keinginan kita. Di sinilah kita harus belajar, bahwa  To hold on is to let go. Know when to let go.”

Popular posts from this blog

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

Staycation, Wedding Edition

A simple staycation turns magical; with seaside noodles, wedding joy, hotel robots, and small surprises that quietly reset the soul.

What's the point of wealth?

At Permata Wealth Wisdom, lessons on economy and neurology collide; revealing that true resilience begins with a connected, healthy mind.

A Series of Plot Twists

A day full of unexpected turns becomes a reminder to embrace life’s plot twists with humor, grace, and gratitude; because detours make the best stories.

The Waiting Room of Life

There are few things in life that test our character more than waiting. Not the kind of waiting where you’re stuck in traffic with your favorite playlist on, but the heavy kind; waiting without certainty. The waiting that weighs on you because you don’t know if it will end tomorrow, next month, or next year. I’ve been thinking a lot about this today because something big just wrapped up. A long-awaited promise was finally fulfilled. And in the process, I witnessed firsthand how differently people behave when placed in the uncomfortable chair of “ the waiting room of life. ” Imagine a waiting room where everyone has been told their name will be called someday, maybe soon, maybe late. You’d see at least two kinds of people. Some people sit quietly, open a book, maybe start a new project on the side while glancing occasionally at the clock. They don’t need to narrate their suffering to the entire room.  They choose dignity over drama.  They know that patience doesn’t have to be ...

What if peace had an address?

An early trip to Puncak leads to riverside calm, local kindness, and quiet joy. 

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...

Waiting and Celebrating

This morning was wonderfully slow, the kind of slow where time doesn’t feel wasted but savored. Everyone in the house had their own lazy rhythm. No alarms, no rush, just soft hours unfolding. By two in the afternoon, we finally left for Pondok Gede to check our first house.  We had it lightly renovated: The old, tired canopy was taken down, so the two-story house could breathe and look elegant again. The walls and fence got a fresh coat of white paint, giving it that “new beginnings” look. The cracked tiles were replaced, no more tripping hazards waiting for unsuspecting guests. The windows were repainted, catching a bit of shine when the sun hits. House for sell or rent, near Mall Pondok Gede. Contact here. Now it’s neat, clean, and... how do I say this... ready to meet its "jodoh".  Although we don’t know yet if the match is a buyer or a tenant. Should we sell it? Should we rent it out? We don’t have the answer yet. And for someone like me, uncertainty is both fascinating a...

Less Fighting, More Understanding

Sunday mornings have this magical way of stretching out slowly, like they don’t want to end. This morning was one of those slow mornings, the kind where the house hums gently, everyone moves at their own pace, and there’s no rush to do anything other than exist. We had plans to go to church, but of course, life had its own little lesson in patience: the War Ticket frenzy. Thousands of people rushing online just to get a spot for worship every week; it’s kind of insane when you think about it. Praise the Lord indeed for the technology that lets us all battle for our pews without elbowing anyone physically. After church, we went for a late lunch, and that’s when I discovered MOKKA tucked away in a corner of the mall. I’ve walked past this mall so many times, but I never noticed it before. It’s funny how sometimes good things are hiding in plain sight, waiting for someone else to point them out. The restaurant was quiet compared to the line at Lekko just down the hall. And while MOKKA’s f...