Skip to main content

Protect Your Dream





Aku sudah berhenti meminta pendapat tentang mimpi atau rencana-rencana besarku dan keluargaku kepada orang lain, terutama kepada keluarga besar dan sahabat. Kenapa? Justru karena pendapat mereka penting, maka aku akan mempertimbangkan pendapat mereka, dan itu sangat mungkin mempengaruhi keputusan terhadap rencana besarku itu.

Kemudian yang akan terjadi biasanya ada dua kemungkinan:
1.     Ketika aku mengubah rencana karena mendengarkan mereka dan semua tidak berjalan sesuai rencanaku, aku mulai mengutuk diri. Kenapa aku harus mendengarkan mereka? Kenapa aku membiarkan pendapat mereka mengubah rencanaku? Kenapa  tidak teguh dengan pendirianku? Dan kenapa juga sejak awal sudah berpikir aku butuh pendapat mereka, kalau aku hanya  ingin semua berjalan sesuai rencanaku?
2.     Ketika aku tetap menjalankan rencanaku dan mengabaikan pendapat mereka lalu semua tidak berjalan sesuai rencanaku, maka mereka akan menyalahkan aku. Kenapa aku tidak mendengarkan mereka? Kan sudah dikasih tahu begini begitu. Nggak mau dengerin sih! Coba aja dulu mau dengerin, pasti jadinya nggak begini! Begitulah kira2 contoh kasarnya.

Sebentar, harusnya ada kemungkinan lain dong? Bagaimana kalau aku tetap menjalankan rencanaku namun tetap mendengarkan pendapat mereka? Ya mungkin saja, kalau mereka setuju 100% dengan rencanaku. Tapi apakah yakin, akan dapat dukungan 100% tanpa ada keraguan sedikitpun? Yakin, ngga akan ada nasihat berdasarkan kekhawatiran secuil pun? Karena belajar dari pengalaman yang udah-udah sih, selalu ada itu. 

Ohya perlu dijelaskan di sini, bahwa rencana besar yang aku maksud adalah rencana besar yang berkaitan dengan masa depan hidupku dan keluarga kecilku. Mimpi dan rencana besar yang akan dijalani hanya oleh aku & keluargaku, dan bukan oleh mereka. Mungkin mereka akan mendapat imbasnya, tetapi keputusan itu bukan mereka yang menjalaninya.

Contohnya soal memilih tempat tinggal.

Waktu anak pertamaku masih TK, aku dan suami sudah punya rencana besar mendaftarkan anak kami ke sekolah bonafid di Jakarta Selatan. Supaya dekat ke sekolah dan ke kantor suami, kami sudah cari-cari apartemen di area Kuningan. Setelah dihitung-hitung dari segi biaya, waktu, dan tenaga, jauh lebih efisien kami ngontrak di apartemen di Jaksel daripada bertahan di rumah kami di Bekasi (yang menghabiskan waktu 3-5 jam pulang pergi tiap hari).

Tapi setelah berbagi rencana itu ke orang-orang termasuk keluarga besar, semuanya buyar.

Kesalahan terbesarku saat itu adalah bukan hanya aku terlalu terbuka, tapi juga terlalu memikirkan pendapat orang lain terhadap rencanaku. Tidak hanya itu, pendapat-pendapat itupun dipaksakan masuk untuk mempengaruhi keluargaku. Bahkan pendapat orang-orang yang bukan anggota keluarga sekalipun (baca: suster / sopir / pembantu). Contoh paling nyata adalah anak pertamaku yang masih TK, yang awalnya semangat pindah ke apartemen dan excited dengan (calon) sekolah barunya, kemudian berubah jadi menentang keras rencanaku setelah ditakut-takuti nanti kalau tinggal di apartemen ada gempa gimana hayo? Zzzzz….

Fast forward 6 tahun kemudian, ketika kami punya rejeki untuk beli rumah baru lagi..

Setelah berbulan-bulan hunting di situs2 online, awalnya aku yang naksir rumah ini. Aku, suami, dan anak-anak pertama kali survey rumah ini dan semuanya jatuh hati. Anak-anak juga seneng banget pas survey betah di sini. Nggak pakai mikir lama, langsung  sepakat untuk beli di bulan itu juga. Dan kali ini, nggak pakai minta pendapat dari orang lain termasuk sahabat dan keluarga besar. Ketika sudah done deal, kami hanya umumkan ke mereka bahwa kami sudah beli rumah baru, dan mohon doa restunya. That’s it.

Alhasil aku tenang dan keluargaku senang. Itu yang terpenting karena toh kami yang menjalani keputusan ini setiap hari. Ngga ada penyesalan sama sekali, malah terus bersyukur karena sudah mengambil keputusan yang tepat. Lebih bersyukur lagi karena berhasil memproteksi mimpi kami dari distraksi yang tak berarti. Dan yang pasti, berhasil mengambil keputusan sendiri tanpa interupsi dari pihak yang bukan menjalani. Asli, rasanya merdeka sekali!

Because your dream deserves a protection. You gotta protect it to make it happen. Not to prove others that they’re wrong, but to prove yourself that you’re capable and it's worth it.

Cheers,
Nuniek Tirta
10 February 2020

Comments

wah bagus banget quotesnya, sangat related untuk kehidupan ku sekarang :') semangat untuk kita yaaa

Popular posts from this blog

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

Sunday at IdeaFest: Purbaya, Agak Laen!

A full day at IdeaFest 2025 with Agak Laen, Purbaya, Ben Soebiakto and Bilal Faranov. Laughter, insight, and creativity everywhere.

What if peace had an address?

An early trip to Puncak leads to riverside calm, local kindness, and quiet joy. 

What's the point of wealth?

At Permata Wealth Wisdom, lessons on economy and neurology collide; revealing that true resilience begins with a connected, healthy mind.

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...

A Series of Plot Twists

A day full of unexpected turns becomes a reminder to embrace life’s plot twists with humor, grace, and gratitude; because detours make the best stories.

Staycation, Wedding Edition

A simple staycation turns magical; with seaside noodles, wedding joy, hotel robots, and small surprises that quietly reset the soul.

The Waiting Room of Life

There are few things in life that test our character more than waiting. Not the kind of waiting where you’re stuck in traffic with your favorite playlist on, but the heavy kind; waiting without certainty. The waiting that weighs on you because you don’t know if it will end tomorrow, next month, or next year. I’ve been thinking a lot about this today because something big just wrapped up. A long-awaited promise was finally fulfilled. And in the process, I witnessed firsthand how differently people behave when placed in the uncomfortable chair of “ the waiting room of life. ” Imagine a waiting room where everyone has been told their name will be called someday, maybe soon, maybe late. You’d see at least two kinds of people. Some people sit quietly, open a book, maybe start a new project on the side while glancing occasionally at the clock. They don’t need to narrate their suffering to the entire room.  They choose dignity over drama.  They know that patience doesn’t have to be ...
[gallery] Kakek tua ini mondar mandir menjajakan tisu kepada semua orang yang sedang menunggu di Halte Stasiun UI. Tongkat besi membantu langkah kakinya yang hitam keriput. Saya tidak butuh tisu, tapi saya punya selembar duaribuan. Ya bolehlah, siapa tau nanti butuh. Saya berikan lembaran itu, dia serahkan satu bungkus tisu. Kemudian dia duduk persis di samping saya. Menaikkan kaki, merogoh sesuatu dari kantongnya, kemudian… Memantik api dan menyalakan sebatang dji sam soe. Aduh kakek, jadi capek2 jualan uangnya buat dibakar ngerusak tubuh doang? Rabu, 24 Februari 2015 Universitas Indoesia Nuniek Tirta