Matahari telah tenggelam sempurna, saat alunan lagu2 Ardhito Pramono menemani di ruang sunyi apartemen studio 32 meter persegi. Selimut tebal menghangatkan kakiku, bantal empuk menjadi sandaran punggungku, dan boneka menjadi alas ipadku.
Harum white coffee memenuhi ruangan, seiring dengan hangatnya menjalar dari tenggorokan menuju perutku. Sebuah penutup sempurna setelah menikmati paket nasi ayam bakar dan lalapan.
Di depan kasur ada televisi yang tak pernah kunyalakan, entah sudah berapa tahun aku tak pernah nonton TV. Dari jendela kulihat di bawah sana jajaran lampu rem mobil berjalan beriringan merambat perlahan.
Sengaja aku mengasingkan diri ke tempat ini, agar bisa fokus menulis. 120 menit waktu yang kuhabiskan dalam perjalanan untuk mencapai tempat ini. Bertekad menempuh Jakarta - Serpong dengan armada bus Trans Jakarta, sendiri saja.
Ditelpon suami, "punya mercy 4 pintu malah naik mercy 7 pintu, iseng amat sih". Dikomentarin teman2, "kenapa ngga naik taksi aja mbak?" "Naik kereta lanjut taksi atau gojek lebih cepet lho!"
Sepertinya mereka tidak paham, bahwa aku sangat menikmati perjalanan sendirian. Tanpa harus berinteraksi dengan sopir taksi, pengemudi taksol ataupun ojol. Telinga menikmati musik melalui earphone, mata memantau keadaan sekitar.
Membersamai diri di tengah keramaian, memberiku ruang untuk berkontemplasi.
Suatu ruang yang menjadi kemewahan ketika sudah terlalu banyak kesibukan. Suatu ruang yang menjadi kurang menyenangkan ketika media sosial menawarkan lebih banyak kesenangan. Suatu ruang yang perlahan ditinggalkan ketika sudah tenggelam dalam kenyamanan yang melenakan.
Ruang kontemplasi, salah satu hadiah terbaik untuk diri sendiri.
1 Comments
Berkendara sendiri memang lebih menyenangkan dan memuaskan, terlebih bisa kemana mana dan tidak ada gangguan juga lebih rileks wuehehe :D
ReplyDelete