Skip to main content
[gallery]

Ketakutan Terbesar Dalam Hidupku

Sabtu sore lalu di sesi konseling
kelompok yang rutin diadakan oleh teman-teman sekelas di kampus, kami membahas
tema: Ketakutan Terbesar Dalam Hidupku. 

Satu persatu teman mulai membagikan
perasaan ketakutan terbesar dalam hidupnya. Sejak awal sharing session, saya
berpikir keras apa yang menjadi ketakutan terbesar dalam hidup
saya. Kebetulan, saya dapat giliran terakhir. Namun hingga giliran saya tiba,
saya tidak dapat menemukan apa yang menjadi ketakutan terbesar dalam hidup saya
saat ini

Saya hanya dapat menjawab seperti
ini… 

Duluu, saya takuuuuttt banget
melahirkan. Saking takutnya, tiap kali ada teman/saudara yang baru melahirkan,
saya nggak mau jenguk karena takut dengar cerita tentang proses melahirkannya. Pernah
sekali ramai2 jenguk teman sesama blogger yang baru melahirkan saat saya baru
jadian sama suami tahun 2003 lalu. Begitu mulai cerita2 horror itu, saya
langsung tutup kuping dan berlalu. Sama halnya ketika saya melihat adegan film
tentang melahirkan, pasti tutup mata.

Sekarang? Anak kandung saya ada dua.
Yang pertama proses melahirkan normal padahal beratnya 3,75kg. Yang kedua
proses melahirkan terpaksa caesar meski beratnya hanya 3,1kg, karena sudah
sungsang terlilit tali pusat pula. Kata dokter kalau jaman dulu kasus seperti
itu yang bikin angka kematian tinggi saat melahirkan, karena kalau nggak ibunya
ya anaknya yang nggak bisa bertahan alias mati.

Persis kata rekan saya Bu Dwi, bahwa rasa
takut harus dihadapi, ditaklukkan
. Dan ketika saya berhasil menaklukkan ketakutan
terbesar dalam hidup, rasanya bebas luar biasa. Saya jadi berani pasang kawat
gigi setelah menunda selama 7 tahun, dan berani melakukan tindakan lasik untuk
kedua mata saya setelah berpikir selama 4 tahun. Sebab saya pikir toh kesakitan
terbesar sudah pernah saya alami dan saya tidak mati, apalagi yang ditakuti?

Nah, menyambung soal kematian.

Kematian adalah satu hal yang pasti
dialami, namun kebanyakan orang takut mati. Saya pun dulu begitu, ketika belum
lahir baru. Setelah mengalami kelahiran kembali, saya diperbarui dan merasa sangat
dekat dengan Sang Pencipta, sehingga tidak lagi merasa takut jika waktu saya
telah tiba untuk menghadap kepada-Nya. Saya bahkan telah merancang dan memberitahukan
kepada pasangan tentang prosesi yang saya inginkan untuk melepas kepergian saya
dari dunia ini nanti.

Ketika mati, saya ingin…          

·        
Dikremasi, lalu abunya ditabur ke laut.
Saat ditanya di laut mana, saya
jawab yang dekat saja, Marina Ancol. Kalau mau yang jauh sekalian di Santorini
juga boleh =) Yang jelas saya tidak mau dikubur di dalam tanah. Saya ingin jiwa
raga saya tetap bisa merasakan kehangatan sunrise dan sunset di lautan bahkan
setelah saya mati, meski itu mustahil secara teori.

·        
Pada umumnya orang menginginkan sebanyak-banyaknya pelawat yang datang dan
mengantarkan jasadnya setelah mati, sebagai simbol berapa banyak amal kebaikan
selama hidupnya. Tapi coba perhatikan lagi, apakah dari sekian banyak yang
melayat itu semua benar-benar tulus mendoakan kepergian yang meninggal? Tak
jarang ketika melayat, saya mendengar beberapa pelayat justru menggosip. Tidak,
saya tidak butuh orang-orang seperti mereka pada hari kematian saya, hanya demi
menambah jumlah pelayat agar dapat dilihat sebagai orang yang punya banyak amal
baik. Lebih baik sedikit tapi tulus dibanding banyak tapi palsu. Quality over quantity! 

·        
Memorial Service is a
must! You may loose my body, but not my life story. It could be that my story
is my legacy.
Saya ingin setelah mati, cerita dan pelajaran hidup yang dapat diambil
semasa saya masih ada bisa tetap menjadi berkat dan menginspirasi orang lain,
dalam berbagai bentuk. Bisa dalam bentuk tulisan ini. Bisa dalam bentuk karya
lain. Bisa dalam bentuk kenangan. Apapun itu, selama berguna bagi orang lain. Saya
ingin yang hadir dapat berbagi dan bercerita apa yang mereka pelajari dari
saya. 

Baca di sini tentang perbedaan Funeral
dengan Memorial Service: http://www.funeralplan.com/funeralplan/about/funmem.html

Baca di sini tentang
langkah-langkah merencanakan Memorial
Service
:

http://www.wikihow.com/Plan-a-Memorial-Service


·        
Music playlist for my
memorial service
(in alphabetical order) : 

1.    Air on G String - Sebastian Bach

2.    Amazing Grace

3.    Auld Lang Syne

4.    Be Still My Soul 

5.    Blessings – Laura Story

6.    Con Te Partiro / Time To Say Goodbye

7.    God Can Do – Mike Mohede

8.    It Is Well (With My Soul)

9.    Somewhere Over The Rainbow

10.  You Are My Hiding Place – JPCC Worship

Anyway, ketika saya tanyakan kepada suami, apa ketakutan terbesar dalam hidupnya saat ini, jawabannya juga tidak ada. Tapi kalau pertanyaannya diubah menjadi Kekhawatiran Terbesar Dalam Hidupku,
baru deh saya punya jawabannya… panjang! Nanti saya uraikan di tulisan lain ya =)

Sekarang, apa ketakutan terbesar dalam hidupmu?

Popular posts from this blog

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

Staycation, Wedding Edition

A simple staycation turns magical; with seaside noodles, wedding joy, hotel robots, and small surprises that quietly reset the soul.

What's the point of wealth?

At Permata Wealth Wisdom, lessons on economy and neurology collide; revealing that true resilience begins with a connected, healthy mind.

A Series of Plot Twists

A day full of unexpected turns becomes a reminder to embrace life’s plot twists with humor, grace, and gratitude; because detours make the best stories.

The Waiting Room of Life

There are few things in life that test our character more than waiting. Not the kind of waiting where you’re stuck in traffic with your favorite playlist on, but the heavy kind; waiting without certainty. The waiting that weighs on you because you don’t know if it will end tomorrow, next month, or next year. I’ve been thinking a lot about this today because something big just wrapped up. A long-awaited promise was finally fulfilled. And in the process, I witnessed firsthand how differently people behave when placed in the uncomfortable chair of “ the waiting room of life. ” Imagine a waiting room where everyone has been told their name will be called someday, maybe soon, maybe late. You’d see at least two kinds of people. Some people sit quietly, open a book, maybe start a new project on the side while glancing occasionally at the clock. They don’t need to narrate their suffering to the entire room.  They choose dignity over drama.  They know that patience doesn’t have to be ...

What if peace had an address?

An early trip to Puncak leads to riverside calm, local kindness, and quiet joy. 

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...

Waiting and Celebrating

This morning was wonderfully slow, the kind of slow where time doesn’t feel wasted but savored. Everyone in the house had their own lazy rhythm. No alarms, no rush, just soft hours unfolding. By two in the afternoon, we finally left for Pondok Gede to check our first house.  We had it lightly renovated: The old, tired canopy was taken down, so the two-story house could breathe and look elegant again. The walls and fence got a fresh coat of white paint, giving it that “new beginnings” look. The cracked tiles were replaced, no more tripping hazards waiting for unsuspecting guests. The windows were repainted, catching a bit of shine when the sun hits. House for sell or rent, near Mall Pondok Gede. Contact here. Now it’s neat, clean, and... how do I say this... ready to meet its "jodoh".  Although we don’t know yet if the match is a buyer or a tenant. Should we sell it? Should we rent it out? We don’t have the answer yet. And for someone like me, uncertainty is both fascinating a...

Less Fighting, More Understanding

Sunday mornings have this magical way of stretching out slowly, like they don’t want to end. This morning was one of those slow mornings, the kind where the house hums gently, everyone moves at their own pace, and there’s no rush to do anything other than exist. We had plans to go to church, but of course, life had its own little lesson in patience: the War Ticket frenzy. Thousands of people rushing online just to get a spot for worship every week; it’s kind of insane when you think about it. Praise the Lord indeed for the technology that lets us all battle for our pews without elbowing anyone physically. After church, we went for a late lunch, and that’s when I discovered MOKKA tucked away in a corner of the mall. I’ve walked past this mall so many times, but I never noticed it before. It’s funny how sometimes good things are hiding in plain sight, waiting for someone else to point them out. The restaurant was quiet compared to the line at Lekko just down the hall. And while MOKKA’s f...