Skip to main content
[gallery]

Masih ingat engkong penjual buffet ini? Kalau lupa, bisa baca ceritanya di sini.

Waktu mama datang kemarin, mama cerita, si engkong datang lagi dengan dagangan buffetnya. Ada tetangga menawar harga 150 ribu, si engkong nggak mau lepas. Mama bilang, si tetangga berkomentar: “Ya nggak maulah, udah pernah dibeli 350 ribu!” Iya, yang dimaksud si tetangga itu saya, karena mereka mendengar saya membeli buffet itu seharga 350 ribu. Dan saya baru tahu belakangan, kalau tetangga yang lain pernah membeli barang yang sama dari si engkong seharga 150 ribu. Jadi rupanya, saya dituduh merusak pasaran. Padahal asli, saya ikhlas beli tanpa nawar karena menurut saya harga segitu nggak sebanding dengan usahanya. Menurut saya, harga 500 ribu pun masih sangat pantas. Nggak pernah kepikiran di benak saya, kalau niat baik saya itu justru disalahartikan oleh orang lain. Terbukti sekali lagi, bahwa niat baik saja tidak cukup =(

Saya jadi ingat, dalam perjalanan dari terminal Jepara ke pelabuhan Kartini sebelum ke Karimun Jawa, saya dan teman seperjalanan menumpang becak. Dari hasil googling, saya tahu bahwa standar ongkos becaknya 15 ribu. Namun ketika menjalaninya, ternyata sangat jauh, dan saya merasa ongkos 15 ribu itu kurang layak. Bayangkan, dari depan komplek ke rumah saya yang jaraknya nggak sampai 300 meter saja ongkos becaknya 5 ribu, masa ini jarak 1,7 km hanya 15 ribu? Saya bermaksud memberikan setidaknya 20 ribu, ketika teman saya protes. “Jangan! Kalau kamu ngasih lebih, berarti kamu merusak harga pasaran!” “Lho tapi kan kasihan!” “Ya memang begitu prinsip hukum ekonomi.” Meski pada akhirnya dia membayar 20 ribu juga sih karena tidak ada kembalian =)

image



Malam ini, saya seperti diprotes suami. Ceritanya, suami sudah approve budget 3,5 juta untuk reparasi sofa jati warisan mertua. Ketika abang sofa datang, mama saya bilang, tawar lagi harganya. Ya sudahlah saya tawar, dan ternyata, abang sofa setuju dengan harga 3 juta. Langsung mulai dikerjakan di tempat hari itu juga tanpa DP, selesai dalam waktu maksimal satu minggu. Suami bilang, seharusnya tidak usah ditawar. “Kasihan, lagian selisih uang segitu nggak akan bikin kita miskin”, katanya. Sedangkan, mbaknya mertua bilang, pasaran di tempatnya untuk pengerjaan yang sama hanya 1,5 juta saja. Saya jadi serba salah, dalam hal ini yang benar itu mengikuti prinsip hukum ekonomi atau prinsip kemanusiaan? 

Lalu saya ingat lagi pada protes teman saya di path. Ia menyayangkan gojek yang terus-terusan memberikan harga promo karena justru program promo itu membuat layanan gojek semakin sulit didapat oleh pengguna setia (permintaan jauh melebihi persediaan), dan membuat sistem persaingan kurang sehat dengan kompetitornya (terutama ojek konvensional yang pastinya tak memiliki aliran dana berlimpahruah dari investor). Mirip miriplah dengan website jualan yang sering dumping harga untuk menguasai pangsa pasar. Meskipun gojek beralasan promo itu dalam rangka memberi kesejahteraan lebih untuk para gojek driver, namun dalam skala besar ada pihak yang merasa dirugikan. 

Jadi, mana yang benar? Ah, entahlah. Bagaimana menurut kalian? 

Comments

Popular posts from this blog

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

Sunday at IdeaFest: Purbaya, Agak Laen!

A full day at IdeaFest 2025 with Agak Laen, Purbaya, Ben Soebiakto and Bilal Faranov. Laughter, insight, and creativity everywhere.

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

What if peace had an address?

An early trip to Puncak leads to riverside calm, local kindness, and quiet joy. 

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...

A Series of Plot Twists

A day full of unexpected turns becomes a reminder to embrace life’s plot twists with humor, grace, and gratitude; because detours make the best stories.

Staycation, Wedding Edition

A simple staycation turns magical; with seaside noodles, wedding joy, hotel robots, and small surprises that quietly reset the soul.

What's the point of wealth?

At Permata Wealth Wisdom, lessons on economy and neurology collide; revealing that true resilience begins with a connected, healthy mind.
[gallery] Kakek tua ini mondar mandir menjajakan tisu kepada semua orang yang sedang menunggu di Halte Stasiun UI. Tongkat besi membantu langkah kakinya yang hitam keriput. Saya tidak butuh tisu, tapi saya punya selembar duaribuan. Ya bolehlah, siapa tau nanti butuh. Saya berikan lembaran itu, dia serahkan satu bungkus tisu. Kemudian dia duduk persis di samping saya. Menaikkan kaki, merogoh sesuatu dari kantongnya, kemudian… Memantik api dan menyalakan sebatang dji sam soe. Aduh kakek, jadi capek2 jualan uangnya buat dibakar ngerusak tubuh doang? Rabu, 24 Februari 2015 Universitas Indoesia Nuniek Tirta

How Do You Raise a Kid Who Doesn’t Need Raising?

A reflection on parenting teens: learning to step back, trust their wings, and find peace in watching your children grow into who they’re meant to be.