Skip to main content

Citi Peduli dan Berkarya, Emil Dardak, dan Filantropi untuk Indonesia



Setelah tahun lalu diundang belajar investasi bersama Citi, tahun ini saya diundang lagi oleh Citi Indonesia untuk mengenal Citi Peka, lebih dari filantropi untuk Indonesia. Tapi sebelumnya, sudah tahu belum filantropi itu apa?

Filantropi adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. Istilah ini umumnya diberikan pada orang-orang yang memberikan banyak dana untuk amal. Biasanya, filantropi seorang kaya raya yang sering menyumbang untuk kaum miskin. (Wikipedia)

Saat diundang ke acara ini sebenarnya agenda utama saya ingin catch up dengan teman lama yang juga mengundang saya, Mbak Vera Makki yang kini menjabat sebagai Head Corporate Affairs Citi Indonesia, dan juga Mbak Ainun founder Akademi Berbagi.



Namun ternyata, dari event ini saya jadi lebih tahu banyak tentang...

Citi Peka (Peduli dan Berkarya)


Citi Peka ini adalah payung untuk seluruh kegiatan sosial kemasyarakatan Citi Indonesia yang didanai oleh Citi Foundation. Sejak 1998, Citi Peka fokus pada program pemberdayaan dan penghargaan terhadap pengusaha dan lembaga keuangan mikro; peningkatan kemampuan kewirausahaan muda; dan pembangunan kapasitas keuangan bagi anak usia sekolah, petani dan wanita di berbagai wilayah di Indonesia. Selama lebih dari 18 tahun, Citi Peka telah bermitra dengan lebih dari 56 organisasi untuk melaksanakan 34 program dengan kucuran dana lebih dari USD 10 juta yang menjangkau lebih dari 800.000 individu. Sesuai prinsipnya "Lebih dari Filantropi", Citi Peka melibatkan sekitar 90% karyawan Citi sebagai relawan dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.



Pada kesempatan hari itu, saya menyaksikan penyerahan dana hibah senilai USD 850.000 dari Citi Foundation kepada tiga organisasi nirlaba, yaitu UNESCO, Prestasi Junior Indonesia, dan Mercy Corps Indonesia. Nilai tersebut dimanfaatkan untuk mendukung implementasi program sosial kemasyarakatan periode 2016 - 2017 yang berfokus pada literasi keuangan, kesempatan ekonomi bagi generasi muda, serta pemberdayaan dan penghargaan terhadap pengusaha mikro dan institusi keuangan mikro. Proses penyerahan itu diresmikan oleh Ibu Kusumaningtuti S. Soetiono, Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bapak Batara Cianturi selaku CEO Citi Indonesia, Elvera N. Makki, Country Head Corporate Affairs Citi Indonesia, dan Emil Elestianto Dardak, Bupati Trenggalek.


Emil Elestianto Dardak, Bupati Trenggalek 


Sebelumnya saya sama sekali tidak tau Emil Dardak itu siapa, sampai saat MC membacakan secara singkat resumenya yang mengagumkan: doktor ekonomi pembangunan termuda dari Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang berkat beasiswa yang diterimanya di usia 22 tahun, menjadi kandidat bupati termuda pada pilkada serentak 2015 dan menang dengan perolehan suara lebih dari 76%.



Saya tersihir ketika menyimak pemaparan Bupati Trenggalek itu tentang pentingnya sinergi antara korporasi dengan pemerintah dalam memfasilitasi gerakan literasi keuangan dan entrepreneurship. Menurutnya, Citi Peka memiliki program yang komprehensif dan terintegrasi dengan hal-hal yang menjadi fokus pembangunan berkelanjutan di Indonesia saat ini.

Salah satu paparannya yang menarik perhatian saya adalah tentang peran koperasi dengan sistem tanggung renteng, alias social collective action yang bisa digunakan untuk menciptakan credit worthiness untuk usaha kecil. Kalau ada satu yang nggak bayar, maka koperasi itu wajib bayar semuanya. Sehingga anggota yang lain akan bertanggungjawab terhadap credit worthiness dari satu orang yang nggak bayar itu. Jadi ada rasa malu kalo nggak bayar alias ngemplang.



Saking terpesonanya saya sampai baru ingat untuk rekam melalui FB live pada akhir2 pemaparannya, bisa ditonton di sini ya.


UNESCO, Prestasi Junior Indonesia, Merci Corp


Ketiga nama di atas adalah penerima hibah Citi Peka tahun ini. Bersinergi dengan UNESCO, Citi Peka memusatkan kegiatan penguatan generasi muda di lokasi dengan nilai warisan budaya tinggi di lima titik Indonesia yaitu Danau Toba / Samosir, Borobudur, Prambanan, Klaten, dan Yogyakarta. Menggandeng Prestasi Junior Indonesia, Citi Peka menjalankan program 'Agen Penny' dan 'Student Company' untuk memperkenalkan sejak dini konsep keuangan kepada anak-anak dan siswa SMA. Sedangkan bersama Merci Corp, Citi Peka berkomitmen mendukung semangat kewirausahaan dengan melanjutkan program tahunan 'Citi Microentrepreneurship Awards' (CMA) serta program 'FEED Mobile' (Financial Education & Empowerment Goes Digital and Mobile) sebagai bentuk dukungan terhadap transformasi perkotaan. Nah CMA ini secara aktif memberikan penghargaan dengan beragam kategori. Kamu bisa daftar lho kalau memenuhi syarat-syaratnya, bisa lihat di sini.



Ohya sebelum acara dimulai, saya mampir ke booth mitra-mitra binaan Citi Peka. Mata saya langsung tertuju pada patung merak dan naga merah. Cantik-cantik sekali. Lebih kagum lagi begitu saya tahu kalau ternyata produk tersebut terbuat dari kaleng bekas! Saya sempat ngobrol dengan Pak Kusnodin, yang membuat kerajinan tangan tersebut. Ternyata usahanya tersebut telah melanglang buana dan disukai wisatawan mancanegara. Ia bahkan baru bisa benar-benar mengerjakan kerajinan itu pada malam hari, sebab siang hari selalu ada tamu yang berkunjung ke tempatnya. Pantas saja ketika saya googling namanya, sudah banyak sekali berita mengenai hasil karyanya. Ohya, saya langsung beli patung merak dan naga tersebut untuk kado buat investor dan CEO perusahaan suami.



Saya juga mampir ke booth PKBM Itaco yang didirikan oleh kawan baik saya Suzie. Ia adalah pendiri sekolah gratis untuk anak-anak pra-sejahtera, dan kebetulan juga apprentice komunitas #Startuplokal yang saya gagas bersama rekan-rekan. Kisah perjuangannya mendirikan sekolah tersebut secara mandiri sangat luar biasa, bagaimana ia memutar otak supaya siswa siswinya bisa meneruskan pendidikan agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Salah satu usahanya adalah dengan mendorong para siswa membuat hasil karya yang dapat dijual untuk membiayai operasional sekolahnya. Beberapa hasil karyanya dapat dilihat dan dipesan langsung di instagramnya @siswawirausaha.



Saya percaya, akan semakin banyak pengusaha kecil mandiri seperti Pak Kusnodin dan Suzie yang terbantu dengan adanya program Citi Peka ini. Lanjutkan, Mbak Vera dan Citi Indonesia!



Popular posts from this blog

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

What's the point of wealth?

At Permata Wealth Wisdom, lessons on economy and neurology collide; revealing that true resilience begins with a connected, healthy mind.

What if peace had an address?

An early trip to Puncak leads to riverside calm, local kindness, and quiet joy. 

A Series of Plot Twists

A day full of unexpected turns becomes a reminder to embrace life’s plot twists with humor, grace, and gratitude; because detours make the best stories.

Staycation, Wedding Edition

A simple staycation turns magical; with seaside noodles, wedding joy, hotel robots, and small surprises that quietly reset the soul.

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...

The Waiting Room of Life

There are few things in life that test our character more than waiting. Not the kind of waiting where you’re stuck in traffic with your favorite playlist on, but the heavy kind; waiting without certainty. The waiting that weighs on you because you don’t know if it will end tomorrow, next month, or next year. I’ve been thinking a lot about this today because something big just wrapped up. A long-awaited promise was finally fulfilled. And in the process, I witnessed firsthand how differently people behave when placed in the uncomfortable chair of “ the waiting room of life. ” Imagine a waiting room where everyone has been told their name will be called someday, maybe soon, maybe late. You’d see at least two kinds of people. Some people sit quietly, open a book, maybe start a new project on the side while glancing occasionally at the clock. They don’t need to narrate their suffering to the entire room.  They choose dignity over drama.  They know that patience doesn’t have to be ...

How Do You Raise a Kid Who Doesn’t Need Raising?

A reflection on parenting teens: learning to step back, trust their wings, and find peace in watching your children grow into who they’re meant to be.
[gallery] Kakek tua ini mondar mandir menjajakan tisu kepada semua orang yang sedang menunggu di Halte Stasiun UI. Tongkat besi membantu langkah kakinya yang hitam keriput. Saya tidak butuh tisu, tapi saya punya selembar duaribuan. Ya bolehlah, siapa tau nanti butuh. Saya berikan lembaran itu, dia serahkan satu bungkus tisu. Kemudian dia duduk persis di samping saya. Menaikkan kaki, merogoh sesuatu dari kantongnya, kemudian… Memantik api dan menyalakan sebatang dji sam soe. Aduh kakek, jadi capek2 jualan uangnya buat dibakar ngerusak tubuh doang? Rabu, 24 Februari 2015 Universitas Indoesia Nuniek Tirta