Skip to main content

Deep Reading

Berapa banyak buku yang kamu baca dalam sebulan? Seberapa cepat kamu membaca satu buku? 

Bagi sebagian orang, banyaknya buku yang dibaca dan kecepatan dalam membaca bisa menjadi hal yang penting untuk diukur. 

Tapi itu tidak berlaku bagi saya.


Deep Reading

Semakin berkualitas buku yang dibaca, semakin lama saya membacanya. Diresapi pelan-pelan, kalimat per kalimat, bahkan kata per kata. Mendalami pemikiran penulisnya, mencerna maknanya. Mengkorelasikan dengan pengalaman pribadi, dan merefleksikan dengan pemikiran diri sendiri.

"Because I read not for competing; but I read for pleasure and meaning." ~NuTS

Konsepnya mirip dengan Lectio Divina yang saya bahas kemarin. Gaya membaca tersebut ada istilahnya: slow reading atau deep reading. Saya lebih suka istilah deep reading, sebagaimana ditulis oleh Sven Birkerts di bukunya The Gutenberg Elegies (1994):

"Reading, because we control it, is adaptable to our needs and rhythms. We are free to indulge our subjective associative impulse; the term I coin for this is deep reading: the slow and meditative possession of a book. We don't just read the words, we dream our lives in their vicinity."

Sedangkan Thomas Newkirk di bukunya The Art of Slow Reading menyatakan bahwa "to read slowly is to maintain an intimate relationship with a writer". Ya kira2 mirip komitmen pacaran sama orang lah, bukan cuma one night stand aja 😂
Image source: Bilderbeste

Dalam sehari, biasanya saya membaca 2 buku. Tetapi, 2 buku ini belum tentu berganti setiap hari. Bahkan sangat mungkin saya membaca 2 buku yang sama selama lebih dari sebulan. Sebab, saya lebih suka membacanya bab per bab.

  1. Buku berat untuk bacaan pagi hari.
    Biasanya saya membacanya di kamar mandi bersamaan dengan ritual natural (sorry TMI). Di pagi hari otak masih fresh, jadi masih enak buat diajak berpikir agak berat. Yang sedang dibaca saat ini: The Winner Effect - How Power Affects Your Brain by Ian Robertson. Buku ini keren bangetlah, menggabungkan kisah nyata yang dianalisa dengan sains, didukung oleh riset ilmiah, menjelaskan tentang bagaimana kekuasaan mempengaruhi otak manusia. Jelas aja ilmiah, karena penulisnya Ian Robertson, seorang neuroscientist dan trained clinical psychologist, ahli di bidang neuropsychology. Beliau profesor psikologi di Trinity College Dublin (kebetulan saya pernah diundang ke sana tahun 2011), dan salah satu pendiri Trinity College Institute of Neuroscience. Dari 306 halaman, saya baru sampai di halaman 106 padahal sudah sekitar sebulan buku ini saya baca hampir setiap pagi. Dan hampir tiap halaman ada kalimat yang saya garisbawahi atau tandai dengan lyra polycolor, saking bagusnya. 👍
    The Winner Effect - Ian Robertson

  2. Buku ringan untuk bacaan malam hari.
    Biasanya saya membacanya sebelum tidur bersamaan dengan ritual terapi aroma minyak esensial. Di malam hari baik otak maupun fisik biasanya sudah kelelahan, jadi bacaan ringan tidak akan menambah beban pikiran, malah bisa jadi bahan hiburan. 
    Yang sedang dibaca saat ini: Kisah Rp 10.000 yang Mengubah Hidupku. Buku ini bercerita tentang kisah nyata pengalaman hidup yang sangat menarik dari sosok Bapak Josef Batanoa. Saya beberapa kali menceritakan ulang pengalaman pada buku tersebut kepada suami, saudara, dan sahabat saya. Dari 208 halaman, saya baru sampai di halaman 108 sejak saya mendapatkan buku itu pada tanggal 14 Desember 2018 lalu. Meskipun ringan, buku ini sarat pemikiran dan pengalaman, bahkan mampu mempengaruhi kebiasaan. Siapakah Pak Josef Bataona, dan mengapa pemikirannya mampu mempengaruhi kebiasaan saya? Akan saya ceritakan di postingan selanjutnya yaaa. 
Kisah Rp 10.000 yang Mengubah Hidupku - Josef Bataona

Yang jelas, saya sangat menikmati proses deep reading. Tidak merasa harus terburu-buru menyelesaikan sebuah buku. Tidak merasa gengsi untuk baca buku itu-itu saja (meskipun masih banyak buku lain yang belum dibaca di family mini library). Tidak punya hasrat untuk posting #nowreading  buku yang berbeda-beda kalau tidak benar-benar dibaca. 

Because...

“In the case of good books, the point is not to see how many of them you can get through, but rather how many can get through to you.” – Mortimer J. Adler

And...

Image source: Pernille Ripp

Cheers,
Nuniek Tirta Sari
Jakarta, 03 Januari 2019

Comments

Popular posts from this blog

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

What's the point of wealth?

At Permata Wealth Wisdom, lessons on economy and neurology collide; revealing that true resilience begins with a connected, healthy mind.

Sunday at IdeaFest: Purbaya, Agak Laen!

A full day at IdeaFest 2025 with Agak Laen, Purbaya, Ben Soebiakto and Bilal Faranov. Laughter, insight, and creativity everywhere.

What if peace had an address?

An early trip to Puncak leads to riverside calm, local kindness, and quiet joy. 

A Series of Plot Twists

A day full of unexpected turns becomes a reminder to embrace life’s plot twists with humor, grace, and gratitude; because detours make the best stories.

Perawatan wajah dan cerita masa muda

Andaikata blog dan social media saya punya semacam FAQ (Frequently Asked Question, alias pertanyaan yang paling sering ditanyakan), sudah pasti di urutan pertama akan bertengger pertanyaan: "Pakai produk perawatan wajah apa?"  Banyaaaakkk banget follower instagram / facebook / twitter saya yang nanya gitu, dan minta saya mengulasnya. Saya bilang sabar, tunggu tanggal mainnya. Tapi sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau mengenang masa muda dulu ah..  Jadi begini cucuku... Waktu pertama kali ngeblog 15 tahun lalu , usia saya masih 21 (yak silakan dihitung usia saya sekarang berapa, pinterrrr). Jadi jangan heran kalo gaya bahasanya masih 4I_aY 4b3zzz.. (eh ga separah itu juga sih, hehe). Tapi ekspresi nulisku di masa-masa itu masih pure banget, nyaris tanpa filter. Jadi kalo dibaca lagi sampai sekarang pun masih berasa seru sendiri. Kayak lagi nonton film dokumenter pribadi. Kadang bikin ketawa ketiwi sendiri, kadang bikin mikir, kadang bi...

Staycation, Wedding Edition

A simple staycation turns magical; with seaside noodles, wedding joy, hotel robots, and small surprises that quietly reset the soul.

The Waiting Room of Life

There are few things in life that test our character more than waiting. Not the kind of waiting where you’re stuck in traffic with your favorite playlist on, but the heavy kind; waiting without certainty. The waiting that weighs on you because you don’t know if it will end tomorrow, next month, or next year. I’ve been thinking a lot about this today because something big just wrapped up. A long-awaited promise was finally fulfilled. And in the process, I witnessed firsthand how differently people behave when placed in the uncomfortable chair of “ the waiting room of life. ” Imagine a waiting room where everyone has been told their name will be called someday, maybe soon, maybe late. You’d see at least two kinds of people. Some people sit quietly, open a book, maybe start a new project on the side while glancing occasionally at the clock. They don’t need to narrate their suffering to the entire room.  They choose dignity over drama.  They know that patience doesn’t have to be ...

How Do You Raise a Kid Who Doesn’t Need Raising?

A reflection on parenting teens: learning to step back, trust their wings, and find peace in watching your children grow into who they’re meant to be.