Skip to main content

Inner Child and Personal Healing

Baru saja kemarin sore saya bertanya kepada dosen saya Bu Riani Josaphine Suhardja dalam kelas Personal Healing:

“Bagaimana mengatasi rasa marah pada diri sendiri akibat marah pada anak?”

Sebab seringkali saya merasa marah pada diri sendiri karena tidak dapat menguasai emosi saat marah pada anak padahal tahu itu tidak benar. Beliau menjawab dengan pengalaman pribadinya mengalami hal tersebut dan apa yang dilakukannya. Selain ilmu personal healing, kami dapat bonus ilmu parenting. Oke, secara teori saya sudah dapet bekal lagi nih. Eh, siapa sangka ternyata pagi ini Tuhan langsung memberikan ujian praktek

Pagi hari dimulai dengan drama. Si kakak yang biasanya bangun sendiri jam 5 pagi, sampai jam 6:30 tadi sangat susah bangun akibat tidur kemalaman, padahal upacara dimulai jam 7 pagi. Dengan lembut saya membangunkannya, dan dengan penuh kesabaran membujuknya untuk segera bersiap-siap sekolah, tapi luar biasa susah.

Bukannya mendengarkan perkataan saya untuk masuk kamar mandi di kamarnya, dia malah ngeloyor ke ruang wardrobe di atas. Padahal saya sudah bilang bajunya sudah siap di depan kamar mandi kamarnya, tapi dia tidak mendengarkan. Saat saya suruh turun ke bawah, dia mendengus dan bersungut-sungut. Di situlah saya merasa marah, and awaken the monster within. Dengan emosi dan nada suara tinggi saya katakan supaya dengarkan dan hormati saya sebagai orangtuanya. Dan dia baru benar-benar sadar setelah itu.

Dengan dada sesak, jantung berpacu keras dan ubun-ubun mendidih, saya tinggalkan dia di bawah lalu menenangkan diri di zen place saya: kursi goyang di balkon atas. Sambil memandangi tanaman hijau, mendengarkan worship songs melalui earphone, berbaring pada bantal hijau besar, mengayun2kan diri di greenie benzie. Setelah berdoa, saya mulai mencoba menelisik apa yang terjadi pada saya. Saya mengkonseling diri sendiri dan mempraktekkan teori personal healing yang saya dapatkan kemarin.

Apa perasaan saya? Marah.
Marah pada siapa? Diri sendiri.
Mengapa marah pada diri sendiri? Karena telah marah pada anak dengan cara yang tidak baik meskipun tahu bahwa itu tidak benar.
Apa yang saya rasakan ketika marah pada diri sendiri? Sangat tidak nyaman.

Apakah ada pengalaman di masa kecil yang membuat saya merasa tidak nyaman seperti itu? Ada.
Saat apakah itu? Ketika orangtua atau kakek dari mama saya memarahi saya jika tidak mendengarkan mereka.
Selain perasaan tidak nyaman, apa lagi yang saya rasakan saat itu? Marah.
Marah karena apa? Karena mereka sendiri tidak mendengarkan saya dan tidak memberikan saya kesempatan untuk didengarkan.
Apakah itu membuat saya merasa diabaikan dan tidak dihargai? Sangat!

Tanpa sadar air mata mengalir membasahi pipi dan saya mulai terisak-isak. Inilah arti kemarahan saya yang sesungguhnya: saya marah karena merasa diabaikan dan tidak dihargai. Saya benci ketika saya tidak didengarkan. Itulah inner child saya yang terluka, yang dipicu kembali oleh tindakan anak saya yang tidak mendengarkan perkataan saya (padahal dia hanya sedang sangat mengantuk!!).

Saya kemudian berdoa pengampunan, supaya saya benar-benar mengampuni tindakan mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Saya tidak membenci orangtua atau kakek dari mama saya, tidak sama sekali. Saya sungguh menyayangi dan menghormati mereka. Saya hanya merasa terluka atas amarah mereka ketika itu, yang mungkin mereka sendiri bahkan telah lupa telah melakukannya. Saya mengerti bahwa mereka melakukan itu tanpa niat menyakiti saya, tapi karena mereka tidak belajar ilmu parenting dan psikologi. Bahkan saya yang sudah belajar saja pun kadang masih sering sulit menerapkannya, apalagi mereka yang tidak belajar bukan?

Saya berdoa sambil menangis hingga tertidur. Bahkan ketika saya menuangkan tulisan ini pun air mata masih merembes. Tapi bukan lagi air mata kesedihan yang saya rasakan, melainkan air mata kelegaan. Lega ketika saya mampu mengidentifikasi inner child saya yang terluka, dan membuat saya mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya. Selain mengampuni tindakan orangtua dan kakek saya, saya juga harus meminta maaf pada anak saya, agar ia juga tidak terluka seperti saya. Biarlah akar buruk pohon keluarga dicabut sampai di sini saja.

Saya mempertimbangkan cukup lama apakah tulisan ini hendak saya simpan sendiri sebagai catatan pribadi, atau saya bagikan kepada teman-teman melalui blog dan sosial media. Saya berpikir jika disimpan untuk diri sendiri, okelah hanya saya yang mendapat pemulihan. Namun jika saya publish secara terbuka, bukan tidak mungkin ada di antara kalian yang juga mendapatkan pemulihan atau setidaknya tercerahkan. Sebab saya yakin, bukan hanya saya ibu yang merasa marah pada diri sendiri ketika marah pada anaknya, dan bukan hanya saya saja anak yang wajib mendengarkan kata orangtua tanpa diberi kesempatan untuk didengarkan sebelumnya.

PS: Silakan dibagikan apabila bermanfaat. Jika ingin berbagi lebih lanjut, saya menerima dengan sangat terbuka, silakan kirim message di FB atau email saya nuniek@nuniek.com :) 

Senin, 14 Maret 2016
Nuniek Tirta Sari - finding the inner child and get the personal healing

Comments

erny's journal said…
Hi Mbak Nuniek, thanks for sharing. Aku belum jadi seorang ibu, tapi tulisan ini sangat mencerahkanku. Setidaknya ada beberapa pertanyaan yang mungkin bisa aku terapin saat aku kalut dan marah dengan diri sendiri tanpa tahu apa sebabnya. God Bless you mbak! :)

Popular posts from this blog

Sunday at IdeaFest: Purbaya, Agak Laen!

A full day at IdeaFest 2025 with Agak Laen, Purbaya, Ben Soebiakto and Bilal Faranov. Laughter, insight, and creativity everywhere.
[gallery] Kakek tua ini mondar mandir menjajakan tisu kepada semua orang yang sedang menunggu di Halte Stasiun UI. Tongkat besi membantu langkah kakinya yang hitam keriput. Saya tidak butuh tisu, tapi saya punya selembar duaribuan. Ya bolehlah, siapa tau nanti butuh. Saya berikan lembaran itu, dia serahkan satu bungkus tisu. Kemudian dia duduk persis di samping saya. Menaikkan kaki, merogoh sesuatu dari kantongnya, kemudian… Memantik api dan menyalakan sebatang dji sam soe. Aduh kakek, jadi capek2 jualan uangnya buat dibakar ngerusak tubuh doang? Rabu, 24 Februari 2015 Universitas Indoesia Nuniek Tirta

Saya Nuniek Tirta, bukan ((hanya)) seorang Istri Direktur

Catatan penting: untuk mencapai pemahaman penuh, mohon klik dan baca setiap tautan.  Awalnya adalah pertanyaan . Membuahkan suatu jawaban .  Diposting di akun pribadi, seperti yang biasa saya lakukan sejak hampir 15 tahun lalu , bahkan sebelum Mark Zuckerberg membuat Facebook.  Jawaban yang juga autopost ke facebook itu menjadi viral, ketika direshare oleh lebih dari 20ribu orang, dengan emoticon lebih dari 38ribu, dan mengundang 700++ komentar. Kemudian menjalar liar, ketika portal-portal media online mengcopas ditambah clickbaits.  Tidak ada media yang mewawancara saya terlebih dahulu ke saya kecuali satu media yang menghasilkan tulisan berkelas dengan data komprehensif ini .   Well, ada juga yang sempat email ke saya untuk meminta wawancara, tapi belum sempat saya jawab, sudah menurunkan berita duluan selang sejam setelah saya posting foto di bustrans Jakarta .  Selebihnya... Tidak ada yang konfirmasi terlebih d...

What I Learned from Timothy Tiah - Founder of Nuffnang

Last Sunday when I entered VIP room at JWEF , I was introduced to this guy with his mini version boy on his lap, and his pretty wife with white top and red skirt. We had chit chat and he told me he’d be in Jakarta this Tuesday, and I told him that we’d have 57th #Startuplokal Monthly Meetup on Tuesday night.  To be really honest, only a very few did I know about him until he shared his amazing story on JWEF stage a few minutes later, and get inspired that I took note and now share this with you all.  Timothy Tiah founded Nuffnang with Cheo Ming Shen at 2006 when he was 22 years old, with 150k RM startup capital, partly borrowed from his father. He simply founded it because there’s nobody built it before, while the demand was actually there. The site was launched in February 2007. Sales ≠ cashflow On earlier years, although Nuffnang sales highrocketed, the cashflow was poor. At one point he only has 5k left in bank, while there were invoices need to be paid out urgently. He came to Hon...

What Happens When You Dare to Ask?

From a random DM to a mentoring journey and unexpected blessings, this story shows the real meaning behind “Ask, and it will be given to you.”

What If the Best Things in Life Aren’t Things at All?

From unboxing a new iPhone 17 pro to savoring wagyu and deep talks with friends, I realized real happiness comes from experiences, not things.

Why Love Never Fails?

A reflection on excellence, love, and transformation. How the year’s trials became lessons in divine refinement.

What if peace had an address?

An early trip to Puncak leads to riverside calm, local kindness, and quiet joy. 

When a School Feels Like a Nation

A school cultural festival that celebrates diversity, tradition, and the joy of learning together.

Can Growth Ever Be Truly Mutual?

Reflections from Simbiosis Bisnis 2025; on true collaboration, comfort zones, and finding mutual growth in business and life.