We are pretty much aware that there is someone who loves to talk behind our back and badmouthing us, brainwashing other people to make them hate us too, sometimes in a very subtle way.

Yet there are always kind people who care to confirm, or “victims” who come to us after they found out and revealed the real evil inside this person and wish they had known it earlier.

Some of them said they could avoid a lot of hassle and save a lot of money if only they had known it from the very beginning. Some of them wonder why we never do anything to fight against the one.

First and foremost, we couldn’t care less about this person, so ignorance is such a bliss. We are not interested at all to fix that person nor telling one to stop piling up sins while slandering. As written in bible:

“Anyone who rebukes a mocker will get an insult in return.
Anyone who corrects the wicked will get hurt.
So don’t bother correcting mockers;
they will only hate you.
But correct the wise,
and they will love you.” (Proverbs 9:7-8)

Second, we permit no one to narrow and degrade our soul by making us hate one. As Martin LKJ said it, “Let no man pull you so low as to hate him”. And you know that hatred is a coward’s revenge for being intimidated, don’t you? ;)

Third and the last, because we have this belief:

“But I say to you, love your enemies, bless those who curse you, do good to those who hate you, and pray for those who spitefully use you and persecute you,”
��Matthew� �5:44� �MEV��
http://bible.com/1171/mat.5.44.mev

I’m writing this merely because I care about the victims and feel sorry for them, as more and more of them are coming to us. So just remember this writing before you become the next victim.

And now, let us sing this song together :)

Tentram Tanpa Pembantu
Dulu, setiap kali nggak ada pembantu, ketentraman keluarga kami selalu terganggu.
Faktor PERTAMA, karena ekspektasi masing-masing yang terlalu tinggi. Bukan, bukan ekspektasi tentang pembantu ideal. Tapi ekspektasi tentang...

Tentram Tanpa Pembantu

Dulu, setiap kali nggak ada pembantu, ketentraman keluarga kami selalu terganggu.

Faktor PERTAMA, karena ekspektasi masing-masing yang terlalu tinggi. Bukan, bukan ekspektasi tentang pembantu ideal. Tapi ekspektasi tentang pasangan ideal.

Buat saya (dulu), suami ideal adalah yang seperti papa saya: meskipun kerja cari uang dari jam 10 pagi sampai jam 10 malam, tetap mau bantu2 mama kerjain urusan rumah tangga. Mulai dari cuci baju, cuci piring, nyapu ngepel, jemur baju, nyetrika, bahkan masak, you name it lah, semuanya papa bisa dan biasa. Dan itu dilakukan on daily basis, back to back with mom and children, bukan hanya sesekali atau kalau ada maunya aja loh.

Sedangkan sepertinya buat suami (dulu), istri ideal adalah yang seperti mamanya: melayani segala kebutuhan suami. Istilahnya from A to Z, dari kepala sampai kaki. Wong nasihat eyang putrinya ke saya sehari setelah kami menikah saja masih saya ingat jelas, saat kami duduk berdua di ruang makan: “Suami musti dilayani. Kalau mau makan harus disiapkan. Kalau suami belum pulang, ditunggu, makan malam sama-sama.”

Parahnya, dulu kami menganggap yang IDEAL itu adalah yang SEHARUSNYA. Menganggap bahwa apa yang dilihat sejak kecil itu, ya sudah seharusnya begitu. Padahal ideal itu ya ideal, alias sempurna. Mana ada manusia yang sempurna? Apalagi didikannya beda total :))

Faktor KEDUA, karena saling perhitungan. Kira2 seperti ini simulasinya:

“Aku udah cape kerja, nyetir pulang macet2an, sampe rumah masih harus nyuci piring panci kotor.”

“Loh emang aku di rumah nggak kerja? Coba deh gantian urusin 2 bayi seharian tanpa bantuan, nyuci nyapu ngepel sambil urusin online shop sendirian.”

*kemudian saling lempar bayi*

“Aku kan udah nyetrika sebakul, masa musti nyuci botol juga?”

“Yaudah nih gantian begadang nenenin si adek, bisa?”

*kemudian rebutan nenen* #eh

“Udah dibantuin gendongin bayi juga! Masih misah misuh.”

“Hah, dibantuin?? Emangnya anak ini anak aku doang???”

*kemudian minggat bawa bayi*

Yah dulu gitu deh kura2, eh kira2 😂

Sekarang? Teteup.

Hehe nggak deng. Sejak beberapa tahun lalu sih udah jauh beda. Terutama sejak kita ikut retreat pasutri dan saya dapat banyak ilmu di kuliah konseling ya. Kita udah biasa hidup tanpa pembantu. Anak2 juga tambah mandiri. Kalo ada pembantu syukur, kalo nggak ada ya wasyukurilah.

3 bulan lalu sebelum liburan ke Banyuwangi sempat ambil pembantu di yayasan. Awalnya lumayan, nggak lama kemudian aku nggak tahan karena buanyak omong dan ngibul melulu. Too much bullshitt. Sehari sebelum liburan ke Jepang, dia aku pulangkan ke alamnya, eh ke kampungnya. “Kalo saya mau balik lagi boleh nggak non?” “Nggak usah.” “Saya betah di sini non” Ya sayanya yang nggak betah ada situ.

Ok back to the point, jadi gimana bedanya dulu dan sekarang?

Contoh ya…

Kemarin saya tepar selama 2 hari karena kecapean. Suami gantian bangun pagi siapin anak2 sampai dijemput sekolah. Sebelum berangkat kerja dia masih sempat beresin tempat tidur.

Malamnya dia baru sampai rumah jam 10 karena harus jenguk orang sakit di Karawaci dan lanjut makan malam bareng para BOD. Sampai rumah nggak langsung istirahat, tapi benerin rak sepatu yang rusak.

Habis itu dia nyuci piring setumpuk, lalu aku peluk & pijit sambil bilang “You dont have to do that, I’ll do it tomorrow. You must be tired”, yang dijawabnya “Nggak kok cuma sakit punggung aja”, tapi tetap dicucinya piring panci gelas sampai tuntas. Aku pun meneruskan menjemur pakaian.

Sudah selesai? Belummm. Jam 12 malam lewat, kami melanjutkan sampul buku anak2 karena mereka sudah harus tidur. Saya sampul buku2 kecil, dia sampul buku2 besar. Saya sudah selesai dan ketiduran, jam 2 pagi saya diciumnya untuk membangunkan saya supaya pindah ke kamar.

For all those things he did, made me love him even more. Well, who wouldn’t? 😍

Dulu saya sempat berusaha keras mengubahnya menjadi suami ideal versi saya tapi gagal dan dia semakin resisten. Begitu pula sebaliknya, dengan caranya dia sempat berusaha mengubah saya menjadi istri ideal versi dia tapi gagal dan saya juga makin resisten.

Sekarang saya sadar betul, bahwa kita tidak bisa mengubah pasangan menurut cara kita, kalau ia sendiri tidak mau berubah. Yang bisa kita lakukan adalah mengubah perlakuan kita terhadapnya, dan disadari secara langsung maupun tidak, cepat atau lambat perubahan itu juga akan mengubah cara pasangan memperlakukan kita.

Kamis, 21 July 2016
Nuniek Tirta Ardianto

PS: photo by Sweet Escape

5 tahun mengawal komunitas startup dan bergaul dengan young entrepreneurs, saya sering menyaksikan sendiri bagaimana founder startup yang tampak glamour sesungguhnya hidup susah karena startupnya menang ini itu namun tidak make money.
Bagaimana...

5 tahun mengawal komunitas startup dan bergaul dengan young entrepreneurs, saya sering menyaksikan sendiri bagaimana founder startup yang tampak glamour sesungguhnya hidup susah karena startupnya menang ini itu namun tidak make money.

Bagaimana founder yang berpakaian necis bermerk merangkak dari kempompong menjadi social butterfly namun untuk mengikuti gaya hidupnya yang (tampak) tinggi dia tidak malu-malu meminta pinjaman uang.

Bagaimana founder yang tampak percaya diri berbagi kisah inspirasi di hadapan ratusan mahasiswa perguruan tinggi namun di dalam hati tengah gundah gulana karena harus menutup perusahaannya keesokan harinya.

Dan masih banyak lagi.

Mahfum memang jika kebanyakan orang -dan tentu saja media- lebih mengapresiasi mereka yang tampak berprestasi di depan layar dan mengesampingkan apa yang terjadi, bagaimana prosesnya, dan siapa yang berperan penting di belakang layar.

Success is not always what you see. Don’t compare your scoop of success with others. As everyone has one’s own field of battle, root and background, do not compete with anyone but (the previous version of) yourself.

Duka

image

Baru Senin lalu mama mertua keluar dari RS setelah diopname 5 hari karena hipertensi, Senin ini saya menjenguk adik bungsu yang diopname di RS sejak kemarin karena gangguan pencernaan. Berangkat dari rumah ke RS butuh waktu tempuh 2 jam naik angkot dan trans jakarta karena macetnya luar biasa. Sengaja tidak naik Uber atau taksi atau ojek karena rutenya tidak lebih cepat. Capek sih, dan gerah banget pastinya, tapi hiburan saya saat macet adalah mengamati orang2 di dalam kendaraan umum atau di pinggir jalan =) 


Sampai di RS, adik saya sedang dijenguk oleh temannya yang bulan lalu baru saja kehilangan anak, istri, dan ibu mertuanya sekaligus dalam satu kecelakaan mobil di Perancis. Ceritanya, mereka sedang akan menjemput teman adik saya itu yang baru datang dari Indonesia. Mereka hendak berbelok ke masjid untuk sholat, saat truk datang menghantam hingga membuat mobil mereka terguling-guling dan dihantam lagi oleh mobil lain. Anaknya yang baru berusia 4 bulan dan ibu mertuanya tewas di tempat, sedangkan istrinya sempat kritis selama 2 jam sebelum akhirnya berpulang.. 


Setelah teman adik saya itu pamit, tidak lama kemudian pasien yang satu ruangan dengan adik saya tiba-tiba saja kritis. Usianya 68 tahun, perempuan, saya tidak tahu namanya, hanya tahu dipanggil Opung oleh anak perempuan dan cucu laki-lakinya yang berusia sekitar 8 tahun. Saya mendengar dan menyaksikan semenjak ia mengorok kencang, diberi nafas buatan, dipompa jantungnya, ditangani oleh sekitar 3 dokter dan 5 suster selama hampir 2 jam, hingga akhirnya tidak tertolong lagi… 


Karena kebetulan saudara seiman, saya ajak anak perempuan opung tersebut dan cucunya untuk berdoa bersama sejak awal opung itu kritis. Ibu itu memeluk saya erat, dan saya biarkan ia menangis sejadinya di dekapan saya. Ia terus memanggil-manggil ibunya, dan ketika akhirnya dokter menyatakan bahwa ibunya telah tiada, ia histeris kencang… “Mamiiii! Mamiiii! Bangun mamiii!! Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagiii! Aku sudah tidak punya suami, sekarang aku kehilangan mamiii! Mami jahattt.. Mami jahattt… Apa dosaku mamiii…." 


Tak lama setelah opung itu dinyatakan meninggal, mama saya datang langsung dari pulau Bangka - Sumatera. Saya harus segera pulang sebelum anak-anak pulang, karena kami tidak menggunakan jasa pembantu full time. Sepanjang perjalanan pulang selama satu jam, saya memikirkan apa yang hendak Tuhan sampaikan dengan cara memberikan pengalaman barusan. Mengapa banyak sekali kejadian yang berkaitan dengan kematian? Sus Carla, tetangga kami yang berusia 69 tahun juga minggu lalu meninggal setelah koma hampir sebulan lamanya. 


Dari pelatihan Trauma Healing yang saya ikuti beberapa waktu lalu, saya belajar banyak tentang kedukaan. Berdukacita adalah menangisi suatu kehilangan. Melalui proses berdukacita, kesadaran diri seseorang berubah dan menyesuaikan kepada pola hidup yang baru, dan ini memerlukan waktu dan energi. Berdukacita menjadi bagian dari proses pemulihan yang wajar atas suatu kehilangan. 


Airmata adalah jalan yang disediakan Tuhan untuk membuang kesedihan dari tubuh kita. Menangis adalah bagian penting dalam proses berdukacita, baik untuk pria maupun wanita. Biarkan mereka mengeluarkan rasa marah atau kesedihan. Dengarkan ungkapan rasa sakit mereka, lebih banyaklah mendengar daripada berbicara. Pemulihan terjadi kalau mereka mengeluarkan rasa sakit di hatinya. 


Ada 3 Tahap Berduka:

1. Menyangkal & Marah. Biasanya selama 1 bulan. 

2. Tidak ada harapan. Biasanya 6-15 bulan. It gets worse during anniversary, special dates, atau tanggal terjadinya kehilangan. 

3. Hidup baru. Biasanya dalam 1-2 tahun. Seseorang menjadi lebih kuat, memulai hidup baru, lebih siap menghabiskan waktu dengan teman2, menikah lagi, hamil lagi, dsb. 


"One of the greatest feeling that we can give to traumatize people is to let them express their feeling to God. Do not preach them at this stage, just listen and let them know that you’ll stay beside them to get through. Timing is very important. Learn when is the right time to say the right thing.”


Semoga mereka yang kehilangan dapat memberikan cukup ruang dalam hati untuk berduka, sehingga ketika fase2 itu berhasil dilewati, tidak ada beban lagi nantinya. Amin.

Soal Melangsing, Melebar ke Samping, dan Verbal Bullying

Soal Melangsing

image


Kapan itu saya bertemu dengan ibu dari teman sekolah anak saya yang dulu. Kami saling bertukar kabar, dan mengupdate perkembangan anak2.

Ibu yang sebenarnya nice itu kemudian berkomentar, di depan anaknya dan anak saya juga: 


“Anakmu badannya jadi bagus ya, tinggi. Dulu kan gendut. Kalau anakku malah tambah gendut gak karuan tuh, makannya aja sebakul." 


Saya setengah terperanjat mendengarnya, but manage to keep calm. Saya coba mencerna perkataannya dengan jernih tanpa distorsi persepsi. Tapi sulit.. 


Oke, ibu itu memuji perkembangan badan anak saya yang melangsing. Tapi kemudian ia membandingkan dengan anaknya yang doyan makan sehingga badannya tidak melangsing. 


DAN, itu dikatakan tepat di depan muka anaknya yang terlihat sangat malu hingga wajahnya merah padam. Sungguh, rasanya saya ingin sekali memeluk anaknya itu.. 


Lain waktu, ada pula seseorang yang berkomentar tentang badan anak saya yang melangsing. "Kamu kok jadi kurus banget? Gak dikasih makan ya sama ibumu?”


Oke, mungkin maksudnya becanda. Tapi apa pantas? Apalagi ia berbicara pada anak2, yang secara umum kemampuan mencerna perkataan antara serius atau becanda itu terbatas.  


Apa perlu saya jelaskan bahwa anak2 melangsing setelah berhenti mengkonsumsi susu bayi dan masuk SD yang jam belajarnya 2-3x lipat dari jam belajar waktu TK? Tidak. 


Jadi biasanya, jika ada yang mengomentari badan anak2 saya yang tinggi melangsing, saya tanggapi saja begini (dan saya ajarkan ke anak saya juga): 


“Yang penting sehat dan nggak sakit2an. Lagian pertumbuhan yang benar memang ke atas, bukan ke samping atau ke depan.”

Soal Melebar ke Samping

image

[Ket. foto: diambil hari Rabu 14 Oktober 2015 di 3 Princess Hotel Bali] 


Sebelum menikah, berat badan saya hanya 42kg, pernah paling kurus 39kg dan paling berat mentok 45kg. Begitu hamil melambung naik 24kg jadi 66kg. Setelah melahirkan dan menyusui anak kedua lumayan menyusut sampai 48kg. Sekarang, nggak jauh2 dari angka 50-55kg :D 


Sebenernya dengan tinggi 155cm, berat segitu masih termasuk ideal cenderung kurus sih. Tapi mungkin karena orang2 membandingkannya dengan berat badan saya waktu masih single, di mata mereka ya saya gendutan. So komentar soal perubahan berat badan sering banget saya dengar, dari yang paling halus sampai yang paling “nggak pakai mikir”… 


“Wah ‘segeran’ ya sekarang..”

“Kamu jadi gemuk banget sih?" 

"Hati2 ntar jadi kayak Atun lo!”

“Awas ntar suaminya direbut sama yg langsing” (as if my hubby is that low)


Lucunya, tidak sedikit dari mereka yang komentar, berat badannya justru tidak lebih ideal dari saya. Masa sih saya harus gotong2 cermin untuk membungkam mereka? Ga perlu lah ya :)) 


Well well, selama tidak ada keluhan kesehatan yang diakibatkan oleh kelebihan berat badan saya, selama saya nyaman dengan tubuh saya, selama suami juga tidak keberatan dengan berat badan saya, tidak masalah. 


Yang masalah adalah kalau kita terus tergerus oleh komentar orang2 yang sampai kapanpun tidak akan pernah berhenti berkomentar, mau itu bagus atau jelek, dipikirin atau nggak, yang penting ada “bahan omongan”. Yang melangsing dibilang nggak dikasih makan, yang menggendut dibilang nggak bisa kontrol nafsu makan. Bla bla bla 😛


Soal Verbal Bullying 

Saya yakin, saya tidak sendirian menghadapi komentar-komentar seperti di atas. Coba saja kalau datang kondangan atau arisan, biasanya ada saja yang iseng nyeletuk: “Hai, apa kabar? Wah gendutan/kurusan ya lo sekarang”… as if it’s the new hello. 

Mengomentari berat badan seseorang, sehalus apapun itu, sesungguhnya sudah termasuk dalam verbal bullying, dan banyak dari kita (termasuk juga mungkin saya sendiri) sering melakukannya, baik secara sadar maupun tidak. 

Efeknya tentu berimbas pada konsep diri orang yang dibully, jika ia tidak memiliki konsep diri yang baik dan benar maka ia akan “menyetujui” apa yang dikatakan oleh pembully, dan pada akhirnya merugikan dirinya sendiri. 

Kita sebagai orangtua sering gembar gembor soal bullying, saat mencari sekolah anak2 salah satu kriterianya adalah yang anti bullying, kalau baca berita soal bullying langsung marah. Tapi mari tanyakan pada diri sendiri: sudahkah kita menerapkan anti-bullying, setidaknya di dalam keluarga sendiri?  

Senin, 19 Oktober 2015

Nuniek Tirta ~yg juga pernah dibully dan pernah khilaf membully~

HAPPY 13th ANNIVERSARY TO MY BLOG !

image

(image taken from here)

Yes, tepat hari ini, 17 Januari 2015, blog ini berulangtahun yang ke-13. Say whatt, 13 tahun? Officially a teenager! 

Sesuai umurnya yang memasuki usia remaja, blog ini juga melakukan peremajaan. Terlihat jelas dari desain blog baru yang lebih fresh, dan tema blog ini secara keseluruhan. 

“Life is a GIFT, that’s why everyday is a PRESENT”

Hidup ini adalah karunia Tuhan, sebab itu jalanilah hari demi hari (every single day) sebagai anugerah dari-Nya. Begitu kira-kira filosofinya :) 

Sesuai filosofi tersebut, blog ini akan mewadahi buah pemikiran dan rekaman catatan saya yang berkaitan dengan Parenting & Family Life, Relationship & Marriage Life, Inspirations & Personal Life, dan Activities & Social Life. Sebab melalui keluarga, pasangan, kehidupan pribadi dan sosial saya merasakan begitu besar kasih karunia Tuhan, dan saya ingin berbagi anugerah itu dalam bentuk tulisan pada blog ini. 

Tapi jangan bingung kalau tab di samping masih kosong, karena saat ini proses pemindahan sebagian isi blog lama ke blog baru masih berlanjut. Mengapa hanya sebagian? Karena yang dipindahkan hanya tulisan2 yang sesuai dengan kategori2 tersebut. Selebihnya masih bisa dilihat kok di light posts yang ada di sisi kanan bawah. Kalau masih kepo, bisa cek arsip2 lama di sini, termasuk tulisan blog pertama kali tepat 13 tahun yang lalu atau yang lebih jadul lagi versi aslinya di sini :D

Anyway, filosofi di atas sejalan dengan visi & misi blog ini sejak hampir 5 tahun lalu. Saat itu saya menulis, arti sebuah blog adalah… 

“Sebuah diary online yang mendokumentasikan setiap kegiatan, perasaan, tempat2 yang saya kunjungi, dan orang2 yang saya temui. Blog merupakan wadah bagi saya berekspresi, bersosialisasi, dan beraktualisasi dengan menyampaikan apa isi pikiran dan perasaan saya melalui tulisan yang diupdate (hampir) setiap hari, dengan gaya khas yang ringan dan tanpa beban. “ ~Arti Sebuah Blog : Dahulu 

““Tempat saya berbagi pengalaman, bertukar ilmu & pengetahuan, menyumbangkan ide & pikiran, memberi motivasi & inspirasi, yang mudah2an berguna bagi orang lain dan diri saya sendiri.” ~Arti Sebuah Blog : Kini 

“Sebuah buku terbuka berisi kisah hidup, perjalanan pribadi, pandangan dan pemikiran, yang dapat dipelajari dan diambil hikmahnya oleh siapapun, yang juga berfungsi sebagai media refleksi bagi diri sendiri.” ~Arti Sebuah Blog : Nanti 

Now, enjoy your present ! 

Pernah memperhatikan sarang burung di atas dahan? Biasanya sarang itu bertengger di batang yg bersimpangan, karena memang itulah posisi paling aman.
Saya merasa disitulah posisi saya sekarang ini dalam kehidupan. Mulai menikmati zona nyaman, meski...

Pernah memperhatikan sarang burung di atas dahan? Biasanya sarang itu bertengger di batang yg bersimpangan, karena memang itulah posisi paling aman.

Saya merasa disitulah posisi saya sekarang ini dalam kehidupan. Mulai menikmati zona nyaman, meski sadar bahwa kenyamanan itu menghanyutkan…

But heck, currently I just wanna enjoy my life, with all I got, coz nothing is immortal in this world =)

The philosophy of cleaning up.

I spent this sunny Sunday with my family: cooking, playing, learning, watching movie, cabinet building, balcony picnic, and cleaning storage room. I love rearranging & cleaning up. It soothes my mind, and gives myself time to contemplate as well. When in doubt, I clean up. When I’m sad/down, I clean up. Though today I wasn’t in doubt nor feeling sad/down at all, I do still enjoy it, as always. When I think of why I love rearranging things and cleaning up, the only thing I can find is the fact that the activity gives real time result, and a good teraphy for letting go. Yes, to let go things we dont need (anymore) so we can have enough space for things we (still) need. Sometimes in life, we just have to loose so we dont get lost.

Insecurity is the root of jealousy. Expectation is the root of disappointment. Free your mind from those and enjoy the moment..
— #midnighthought