Tentram Tanpa Pembantu
Dulu, setiap kali nggak ada pembantu, ketentraman keluarga kami selalu terganggu.
Faktor PERTAMA, karena ekspektasi masing-masing yang terlalu tinggi. Bukan, bukan ekspektasi tentang pembantu ideal. Tapi ekspektasi tentang...

Tentram Tanpa Pembantu

Dulu, setiap kali nggak ada pembantu, ketentraman keluarga kami selalu terganggu.

Faktor PERTAMA, karena ekspektasi masing-masing yang terlalu tinggi. Bukan, bukan ekspektasi tentang pembantu ideal. Tapi ekspektasi tentang pasangan ideal.

Buat saya (dulu), suami ideal adalah yang seperti papa saya: meskipun kerja cari uang dari jam 10 pagi sampai jam 10 malam, tetap mau bantu2 mama kerjain urusan rumah tangga. Mulai dari cuci baju, cuci piring, nyapu ngepel, jemur baju, nyetrika, bahkan masak, you name it lah, semuanya papa bisa dan biasa. Dan itu dilakukan on daily basis, back to back with mom and children, bukan hanya sesekali atau kalau ada maunya aja loh.

Sedangkan sepertinya buat suami (dulu), istri ideal adalah yang seperti mamanya: melayani segala kebutuhan suami. Istilahnya from A to Z, dari kepala sampai kaki. Wong nasihat eyang putrinya ke saya sehari setelah kami menikah saja masih saya ingat jelas, saat kami duduk berdua di ruang makan: “Suami musti dilayani. Kalau mau makan harus disiapkan. Kalau suami belum pulang, ditunggu, makan malam sama-sama.”

Parahnya, dulu kami menganggap yang IDEAL itu adalah yang SEHARUSNYA. Menganggap bahwa apa yang dilihat sejak kecil itu, ya sudah seharusnya begitu. Padahal ideal itu ya ideal, alias sempurna. Mana ada manusia yang sempurna? Apalagi didikannya beda total :))

Faktor KEDUA, karena saling perhitungan. Kira2 seperti ini simulasinya:

“Aku udah cape kerja, nyetir pulang macet2an, sampe rumah masih harus nyuci piring panci kotor.”

“Loh emang aku di rumah nggak kerja? Coba deh gantian urusin 2 bayi seharian tanpa bantuan, nyuci nyapu ngepel sambil urusin online shop sendirian.”

*kemudian saling lempar bayi*

“Aku kan udah nyetrika sebakul, masa musti nyuci botol juga?”

“Yaudah nih gantian begadang nenenin si adek, bisa?”

*kemudian rebutan nenen* #eh

“Udah dibantuin gendongin bayi juga! Masih misah misuh.”

“Hah, dibantuin?? Emangnya anak ini anak aku doang???”

*kemudian minggat bawa bayi*

Yah dulu gitu deh kura2, eh kira2 😂

Sekarang? Teteup.

Hehe nggak deng. Sejak beberapa tahun lalu sih udah jauh beda. Terutama sejak kita ikut retreat pasutri dan saya dapat banyak ilmu di kuliah konseling ya. Kita udah biasa hidup tanpa pembantu. Anak2 juga tambah mandiri. Kalo ada pembantu syukur, kalo nggak ada ya wasyukurilah.

3 bulan lalu sebelum liburan ke Banyuwangi sempat ambil pembantu di yayasan. Awalnya lumayan, nggak lama kemudian aku nggak tahan karena buanyak omong dan ngibul melulu. Too much bullshitt. Sehari sebelum liburan ke Jepang, dia aku pulangkan ke alamnya, eh ke kampungnya. “Kalo saya mau balik lagi boleh nggak non?” “Nggak usah.” “Saya betah di sini non” Ya sayanya yang nggak betah ada situ.

Ok back to the point, jadi gimana bedanya dulu dan sekarang?

Contoh ya…

Kemarin saya tepar selama 2 hari karena kecapean. Suami gantian bangun pagi siapin anak2 sampai dijemput sekolah. Sebelum berangkat kerja dia masih sempat beresin tempat tidur.

Malamnya dia baru sampai rumah jam 10 karena harus jenguk orang sakit di Karawaci dan lanjut makan malam bareng para BOD. Sampai rumah nggak langsung istirahat, tapi benerin rak sepatu yang rusak.

Habis itu dia nyuci piring setumpuk, lalu aku peluk & pijit sambil bilang “You dont have to do that, I’ll do it tomorrow. You must be tired”, yang dijawabnya “Nggak kok cuma sakit punggung aja”, tapi tetap dicucinya piring panci gelas sampai tuntas. Aku pun meneruskan menjemur pakaian.

Sudah selesai? Belummm. Jam 12 malam lewat, kami melanjutkan sampul buku anak2 karena mereka sudah harus tidur. Saya sampul buku2 kecil, dia sampul buku2 besar. Saya sudah selesai dan ketiduran, jam 2 pagi saya diciumnya untuk membangunkan saya supaya pindah ke kamar.

For all those things he did, made me love him even more. Well, who wouldn’t? 😍

Dulu saya sempat berusaha keras mengubahnya menjadi suami ideal versi saya tapi gagal dan dia semakin resisten. Begitu pula sebaliknya, dengan caranya dia sempat berusaha mengubah saya menjadi istri ideal versi dia tapi gagal dan saya juga makin resisten.

Sekarang saya sadar betul, bahwa kita tidak bisa mengubah pasangan menurut cara kita, kalau ia sendiri tidak mau berubah. Yang bisa kita lakukan adalah mengubah perlakuan kita terhadapnya, dan disadari secara langsung maupun tidak, cepat atau lambat perubahan itu juga akan mengubah cara pasangan memperlakukan kita.

Kamis, 21 July 2016
Nuniek Tirta Ardianto

PS: photo by Sweet Escape

DISPLACEMENT

Duluuu saya tidak mengerti, mengapa saya bisa senang dan tenang seharian bersama anak-anak, namun begitu suami pulang saya menjadi uring-uringan, lebih mudah tersinggung dan gampang marah pada anak-anak. Padahal suami tidak berbuat apa-apa dan saya juga tidak merasa ada masalah dengan suami. Awalnya saya pikir apakah karena suami sering pulang terlambat. Tapi begitu dia pulang tepat waktu pun saya tetap merasakan hal yang sama. Atau apakah karena anak-anak lebih sulit diatur ketika ada ayahnya? Tidak juga. Lalu, apa yang terjadi?

Setelah belajar ilmu psikologi melalui kuliah konseling, saya mempelajari apa yang dinamakan  displacement  sebagai salah satu  self defense mechanism.

image

Displacement is the redirecting of thoughts feelings and impulses directed at one person or object, but taken out upon another person or object. People often use displacement when they cannot express their feelings in a safe manner to the person they are directed at. The classic example is the man who gets angry at his boss, but can’t express his anger to his boss for fear of being fired. He instead comes home and kicks the dog or starts an argument with his wife. The man is redirecting his anger from his boss to his dog or wife. Naturally, this is a pretty ineffective defense mechanism, because while the anger finds a route for expression, it’s misapplication to other harmless people or objects will cause additional problems for most people.” Source: http://psychcentral.com/lib/15-common-defense-mechanisms/2/

Intinya adalah kemarahan atau kekecewaan yang salah sasaran. Jadi sebenarnya secara sadar ataupun tidak, begitu suami pulang, otomatis timbul harapan saya untuk mendapatkan perhatian. Namun saya kecewa dengan perilaku suami saat itu yang pulang hanya untuk makan, nonton tv, tidur. Tetapi saya tidak bisa mengidentifikasi kekecewaan saya sendiri, karena logika saya berpikir bahwa suami sudah capek. Sedangkan kebutuhan emosi utama saya sebagai wanita yaitu afeksi, tidak terpenuhi sama sekali. Afeksi yang saya butuhkan berupa perhatian, entah sekedar ditanyakan “how was your day?”, atau syukur2 dibawakan makanan kesukaan, itu belum terpenuhi. Ingat, afeksi ya, bukan sexual fulfillment (which is the first emotional need of men based on His Needs Her Needs book by William Harley). Karena affection dan sexual fulfillment adalah dua hal yang sama sekali berbeda.  

Bagaimana saya bisa mengutarakan kekecewaan saya kalau saya cepat-cepat merasionalisasi dengan berkata pada diri sendiri, “Ah saya terlalu penuntut!” Di lain pihak, suami pun juga pastinya tidak nyaman ketika pulang melihat saya uring-uringan. Saya tidak tahu apa yang terjadi, dia pun juga tidak tahu apa yang terjadi. Ditambah lagi apabila ia juga sedang menghadapi masalah di pekerjaan, bagaimana mau berbagi dengan istri kalau istrinya terlihat marah marah melulu? Sedangkan saya juga bagaimana bisa ngomong kalau melihat suami saja sudah jengkel karena cuek bebek. Kalau sudah begitu, tingkat toleransi kami terhadap kesalahan anak-anak jadi menurun jauh. Bahkan kadang yang tidak salah pun jadi salah. Terjadilah yang dinamakan displacement. Duh, semua jadi tak nyaman kan.

Meskipun saya sudah memahami konsep mengelola harapan alias managing expectation, nyatanya saat itu saya belum mastering  skill how to convey my expectations. Untunglah ketika saya dan suami mengikuti retreat pasutri beberapa tahun lalu, kami bisa saling mengkomunikasikan secara terbuka sepenuhnya apa yang menjadi harapan dan kekecewaan kami selama ini. Satu hal yang terus digarisbawahi selama mengikuti retreat pasutri: jangan pernah mengharapkan pasangan berubah. Jangan. Lho, kenapa? Pertama, manusia hanya mau berubah ketika keinginan datang dari dalam dirinya sendiri. Kedua, karena poin pertama tadi, maka kita akan selalu kecewa ketika harapan kita tidak terpenuhi. Ketiga, yang bisa kita lakukan adalah, ubah diri sendiri!

Lho, kok, dia yang salah, kitanya yang harus berubah? Hmm, salah dari kacamata siapa dulu? Kalau dari kacamata saya, tentu suami yang salah, wong nggak bisa ngerti keinginan istri. Tapi dari kacamata suami, tentu saya yang salah, wong bisanya cuma marah marah. Suami mana tau apa keinginan saya kalau saya nggak pernah bilang kan? Dan kalaupun pernah, saya bilangnya sebel kalau dia pulang terlambat. Padahal bukan pulang terlambatnya, tapi nggak ada perhatiannya itu yang bikin saya sebel. Dan itu tidak saya ungkapkan karena takut dibilang terlalu menuntut. Ujung-ujungnya ya itu tadi, saya jadi uring-uringan karena kebutuhan akan afeksi tidak terpenuhi.

Jadi, solusinya apa? Pertama, akui dulu pada diri sendiri kalau kalau kita memang punya kebutuhan akan afeksi yang belum terpenuhi. Lalu, ini yg penting: ngomong aja! Ngomong, tanpa takut dihakimi (bahkan oleh diri sendiri) kalau saya jadi seperti terlalu menuntut. Ngomong, tanpa takut kecewa jika harapan yang saya utarakan nantinya tidak bisa terpenuhi. Ngomong, supaya sinkron. Dan ternyata memang, dengan mengungkapkan apa harapan saya sebenarnya, itu sudah membuat saya lega. Persoalan dipenuhi atau tidak, sebenarnya tidak terlalu berarti. Istilahnya, keluarkan dulu kotoran yang mengendap di tangki hati, agar bisa diisi dengan air bersih yang baru. Dan biasanya sih, ketika kita mampu mengkomunikasikan dengan cara yang tepat, pasangan bisa mengerti dan mau menyesuaikan kok. Kita kan manusia, diberi keistimewaan oleh Tuhan dengan kemampuan pikiran dan perasaan, supaya bisa berkomunikasi dengan cara yang manusiawi pula. Kalau dipikir-pikir, saya dulu seperti kelinci peliharaan saya saja deh, yang kalau tidak melihat saya tampak anteng-anteng saja, tapi begitu melihat saya langsung rusuh sana sini untuk mendapatkan perhatian supaya diberi makan =))

Selasa, 1 September 2015 09:35

Nuniek Tirta Ardianto

*Ditulis sambil ngemil otak-otak kesukaan yang dibawakan suami semalam :)

Tepat tiga tahun lalu saya pernah menulis Marriage Tips, tahun ini rasanya saya punya satu poin penting yang bisa saya tambahkan:
Jaga kesehatan pernikahan seperti menjaga kesehatan badan.
Apa artinya?
Pernikahan, sama seperti badan, tidak selamanya...

Tepat tiga tahun lalu saya pernah menulis Marriage Tips, tahun ini rasanya saya punya satu poin penting yang bisa saya tambahkan:

Jaga kesehatan pernikahan seperti menjaga kesehatan badan.

Apa artinya?

Pernikahan, sama seperti badan, tidak selamanya fit. Pasti ada masanya kurang sehat dan jatuh sakit. Namun ketika kita kurang sehat, apakah berarti kita langsung mati? Nggak kan. Jadi, pandang masalah dalam pernikahan seperti kita memandang masalah kesehatan badan.

Untuk mempermudah, bikin aja parameter sesuai indikasinya. Misalnya..

Bete2an karena hal remeh temeh = pilek. Orang pilek obatnya apa sih? Cukup istirahat aja kan. Jangan lebay dikasih infus. Nah sama, kalo lagi bete2an, give space masing2 aja dulu. Gak usah lebay langsung minta cerai :))

Konflik karena suatu masalah = DBD. Obatnya? Musti diopname ya, jangan didiemin aja. Kalo gak disembuhin bisa mewabah ke anggota keluarga lain bahkan tetangga. Nah sama, kalo lagi ada konflik, harus dibahas tuh. Jangan dicuekin dan berharap hilang sendiri masalahnya. Kalo nggak diselesaikan imbasnya bisa ke anak atau saudara.

Kisruh karena orang ketiga = kanker. Mau gak mau, yang namanya kanker kan harus diberantas. Bukan berantas pernikahannya, tapi berantas hubungan dengan orang ketiganya. Sama seperti cancer survivor, Anda pun bisa bertahan dan lulus ujian setelah cobaan. Kecuali kalau salah satu pihak tidak mau kankernya diangkat, apa boleh buat :(

Sama seperti penyakit yang ada macam2 jenisnya, masalah dalam pernikahan juga ada buanyakkk banget jenisnya. Kamu dan pasangan yang paling tau seberapa skalanya. Tiga di atas itu hanya contoh paling gampang aja.

Now this is the tricky part: gimana cara bedain antara hal remeh temeh, konflik, dan masalah besar?

Untuk menjawab itu, biasanya saya mengajukan pertanyaan ini ke diri sendiri: kalo hal ini nggak dibahas sekarang sama pasangan, kira2 bakal ganggu nggak di masa mendatang?

Kalo jawabannya:

- Gak sih, gak penting. Ya udah gak perlu dibahas. Berarti masuk kategori pertama.
- Gak ganggu2 amat sih, tapi bisa ganggu juga kalo diulang2 terus. Berarti masuk kategori kedua.
- Ganggu banget! Bahaya kalo gak ditanganin. Ya harus diomongin. Berarti masuk kategori ketiga.

Konsep yang saya pikirkan sejak sekitar 1,5 tahun lalu ini sangat membantu saya memilah mana masalah yang perlu ditangani dan mana yang tidak perlu diperpanjang. Semoga konsep ini juga berguna bagi pasangan lainnya :)

Happy wedding anniversary, my love. Let’s hit Maldives! <3

Karakteristik Perkawinan yang Berhasil (Bagian 3 dari 3)

Ini adalah bagian terakhir setelah tulisan pertama dan kedua

Tulisan asli dalam bahasa Inggris, saya menerjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia.

12 Karakteristik Pernikahan yang Berhasil:

9.      Unselfishness (TidakMementingkan Diri Sendiri)

Terlalu mementingkan diri sendiri dalam pernikahan mengurangi tanggung jawab masing-masing pasangan untuk keberhasilan hubungan. Keberhasilan perkawinan berdasarkan pada semangat saling menolong, dengan cara memenuhi kebutuhan pasangannya sebaik memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

Keep reading

Keberhasilan Perkawinan

Saya sedang membaca buku Intimate Relationships, Marriages & Families karangan Mary Kay DeGenova ini sebagai bahan referensi tugas kuliah. 

image

Isi buku ini lengkap sekali, dan ilmunya penting untuk dibagi. Jadi daripada cuma tersimpan rapi di memori komputer saya, lebih baik saya share yaa… 

Dimulai dengan 4 kriteria yang mendefinisikankeberhasilan perkawinan, yaitu :  

Keep reading

About Boredom

When we almost arrived home after new year staycation today, hubby asked me: ”Do you ever get bored with me?”

I turned to him and asked him back: “Do you ever?” which he responded quickly, “Of course not.” 

Before I had the chance to answer, we arrived home and the conversation discontinued as we were busy clearing things off from the car. 

He didn’t seem eager to continue the conversation, perhaps he’s just not ready IF I give him an ugly truth. 

Seeing this, I just remember my Indonesian male friend once said,
“In general, only American men want to marry American women because they’re too independent and exalting equality. And in general, Japanese men only want to marry Asian women because...

Seeing this, I just remember my Indonesian male friend once said,

“In general, only American men want to marry American women because they’re too independent and exalting equality. And in general, Japanese men only want to marry Asian women because they always want to be served on everything.”

And tonight I just had conversation with American guy who said,

“My first days living in Indonesia, I’m so mad because I lost my freedom to do everything by myself. I become dependent too much on everyone: driver, maid, office boy, everyone!”

Cultural diversity.

Take a look at that meme above. Come to think of it, I think I get it.
Men feel the love in their heart but they don’t even dare to think about it. That’s why sometimes they just keep it safe and sound to control the damage.
While women, dare to...

Take a look at that meme above. Come to think of it, I think I get it.

Men feel the love in their heart but they don’t even dare to think about it. That’s why sometimes they just keep it safe and sound to control the damage.

While women, dare to think about love all the time especially when there are sweet memories running in their head, and they feel it deeply in their heart.

It’s just men’s way to protect their mind. Coz in fact they’re scared… That the thoughts of love will occupy their mind all the time.

So women may seem weak, but the truth is they’re that brave to think and feel the love, as much as it might cost.

The only reason why I dont like to wear my wedding ring is because it doesn’t fit my finger anymore as I gained more weights (baca: gendutan :p). While I put it off everytime I take a bath and go to sleep, and often forget to wear it again and even...

The only reason why I dont like to wear my wedding ring is because it doesn’t fit my finger anymore as I gained more weights (baca: gendutan :p). While I put it off everytime I take a bath and go to sleep, and often forget to wear it again and even lost it several times due to misplace. I asked hubby to change the size and he showed his wedding ring print on his finger. It’s definitely more bold than mine, as he gained way more weights than me. But never I saw him put off the ring, not even once. I asked him why, he said: “I keep it this way so I can’t lie to anyone that I’m married. Even if I hide the ring, the print of it will stay visible.”

The place where I said, “If u’re not happy with our relationship, I’m ok if u leave. With all potentials u got, I believe u can find someone better than me.” And he answered, “But no one can change me the way u do. Not even my mom.” It was 8 years...

The place where I said, “If u’re not happy with our relationship, I’m ok if u leave. With all potentials u got, I believe u can find someone better than me.” And he answered, “But no one can change me the way u do. Not even my mom.” It was 8 years ago… And we’re still together up to now :)